Sejarah Pembangunan Jam Gadang Bukittinggi
Bagi kalian yang pernah mengunjungi kota Bukittinggi, pasti mengenal yang namanya Jam Gadang. Ya, Jam Gadang adalah nama sebuah menara jam yang terletak di pusat kota Bukittinggi provinsi Sumatera Barat. Lokasinya di kelilingi oleh Pasar Bawah, Pasar Atas, Plaza Bukittinggi dan Istana Bung Hatta. Nama Gadang berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti “besar”, nama ini diambil karena jam yang terdapat di keempat sisi menara tersebut yang berdiameter cukup besar, yaitu 80 cm.
Selain sebagai monumen kota Bukittingi, Jam Gadang juga menjadi objek destinasi para wisatawan baik domestik maupun asing. Dari puncak menara, para wisatawan bisa menikmati pemandangan kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan yang berjejer di tengah kota. Saat ini, dengan diperluasnya taman di sekitar menara Jam Gadang, tempat ini menjadi ruang terbuka bagi masyarakat sekitar yang ingin menyelenggarakan semacam event-event tertentu, seperti bazar, festival dan lain-lain.
Sejarah Pembangunan
Menurut cerita para tokoh sejarah, pembangunan menara Jam Gadang dimulai sekitar tahun 1826 pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Menara Jam ini dibangun sebagai kado untuk sekretaris kota Bukittingi yaitu Rook Maker.
Designnya dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, seorang arsitektur pribumi, dan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra Rook Maker yang saat itu masih berusia 6 tahun. Pembangunannnya diprediksi menghabiskan dana 3000 Gulden. Pada masa itu, nilai angka tersebut cukup fantastis. Tak heran jika dalam sejarah pembangunannya yang memakan waktu cukup lama, Jam Gadang menjadi pusat perhatian sehingga dikenal luas di kalangan masyarakat.
Sejak didirikan hingga saat ini, ornamen jam gadang sudah beberapa kali mengalami perubahan khususnya pada bagian atapnya. Pertama kali dibangun, atap menara dibuat berbentuk bulat dengan patung ayam jantan diatasnya yang menghadap ke arah timur. Pada masa penjajahan Jepang, atap tersebut direnovasi menjadi bentuk seperti Pagoda atau Klenteng. Kemudian setelah Indonesia merdeka, atap menara tersebut diubah menjadi bentuk seperti adat rumah Minangkabau sekaligus menjadi simbol dari suku Minangkabau.Sponsors Link
Renovasi terakhir pada Jam Gadang dilakukan pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) yang bekerja sama dengan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan pada tanggal 22 Desember 2010, tepat pada hari ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262. Sampai saat ini, Jam Gadang tersebut terus dilestarikan keberadaannya.
Dari segi bangunan, Jam Gadang didirikan tanpa besi penyangga dan adukan semen. Campurannya hanya pasir putih, kapur, dan putih telur sebagai perekatnya. Nah, putih telur ini, selain sebagai bahan masakan dan kecantikan, juga dipercaya memiliki kandungan zat perekat yang sangat kuat. Hal ini juga telah didukung beberapa penelitian tentang kandungan telur. Dalam sejarah, bangunan-bangunan lain seperti Colloseum di Roma, Masjid Raya Sultan di Riau, Candi Borobudur di Jogja dan bangunan bersejarah lainnya dibangun menggunakan putih telur
Kembali pada Jam Gadang, bangunan dasarnya memiliki luas 13 x 4 meter dan memiliki tinggi 26 meter. Bagian dalam terdiri dari beberapa tingkat dengan tingkat teratas menjadi tempat penyimpanan bandul. Pada tahun 2007, bandul tersebut sempat patah akibat gempa, namun langsung diganti oleh pemerintah Bukittinggi.
Pada keempat sisinya, menara tersebut terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm. Jam tersebut didatangkan dari Belanda langsung melalui pelabuhan Teluk Bayur. Perlu diketahui, mesin pada Jam Gadang dibuat secara eksklusif, yaitu hanya dua unit saja di dunia. Satu digunakan pada Jam Gadang, satu lagi digunakan jam besar Big Ben di London, Inggris. Mesin jam yang diberi nama Brixlion tersebut dibuat oleh perusahaan asal Jerman yang bernama Vortmann Relinghausen.
Keunikan Jam Gadang
Dibalik pembuatannya, ternyata Jam Gadang memiliki keunikan tersendiri, yaitu angka Romawi yang terdapat pada jam tersebut. Tulisan angka empat yang ada di jam tersebut menyimpang dari pakem, karena tertulis IIII, bukan IV. Di sinilah letak keunikannya. Angka empat romawi yang seharusnya ditulis IV malah ditulis dengan angka satu berjejer empat (IIII). Keunikan penulisan angka pada jam tersebut menyisakan tanda tanya besar bagi setiap orang yang melihatnya. Apakah penulisan angka tersebut merupakan sebuah kesalahan dalam pembuatannya, atau memang sebuah patron kuno untuk angka romawi?Sponsors Link
Ada beragam versi cerita terkait penulisan angka Romawi tersebut yang beredar di tengah masyarakat, diantaranya adalah:
- Pendapat yang menyebut bahwa angka IIII pada Jam Gadang merujuk pada kecemasan Belanda terhadap simbol IV yang merupakan singkatan “I Victory” yang memiliki arti “Aku Menang”. Belanda takut angka IV menjadi pemicu semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk merdeka.
- Pendapat yang meyakini bahwa angka IIII merujuk pada jumlah korban tewas sebagai tumbal dalam pembangunan menara jam tersebut.
- Pendapat yang menjelaskan bahwa alasan penggunaan angka IIII semata-mata hanya karena masalah teknis. Apabila angka IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf X sebanyak 4 batang, huruf I sebanyak 16 batang dan huruf V sebanyak 5 batang. Yang jadi masalah, pada zaman itu pandai besi hanya bisa ekonomis jika membuat besi dalam kelipatan empat. Jika angka empat ditulis dengan simbol IV, maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Karena alasan ekonomis tersebut, akhirnya pandai besi membuat angka empat dengan simbol IIII, bukan IV.
- Pendapat dari versi lain menyebut bahwa pada awalnya, penomoran Romawi memang bervariasi. Pada masa awal, angka empat memang ditulis IIII dengan empat huruf I. Hal ini dibuktikan pada jam matahari yang yang dibuat sebelum abad ke-19, hampir semuanya menggunakan IIII untuk angka empat. Termasuk Jam Gadang, karena dibuat pada awal 19 maka penulisan angkat empat masih menggunakan simbol IIII.
Dilihat dari berbagi macam penjelesan di atas, maka penjelesan pada poin keempat lah yang dirasa masuk akal. Jadi, sesungguhnya keunikan yang terjadi pada angka empat pada menara Jam Gadang hanya dirasakan oleh masyarakat modern saja. Karena pada masa ini, angka empat dalam romawi selalu ditulis IV, bukan IIII. Lalu bagaimana dengan menara Big Ben yang disebut-sebut sebagai kembaran Jam Gadang? Penulisan angka empat pada jam menara Big Ben menggunakan simbol IV, bukan IIII. Jika merujuk pada pakem pembuatan jam dunia, maka jam yang terdapat pada menara Big Ben di Inggris telah melanggar konvensi per-jam-an.
0 Response to "Sejarah Pembangunan Jam Gadang Bukittinggi"
Posting Komentar