HUKUM MERAYAKAN ACARA 17 AGUSTUS MENURUT PARA ULAMA DI DALAM ISLAM
Acara Agustusan yang kita kenal di Indonesia di Arab Saudi disebut yaum wathoni atau hari nasional. Mari kita simak penjelasn Syaikh Dr Khalid Mushlih, murid dekat dan menanti Ibnu Utsaimin tentang yaum wathoni [agustusan ala Saudi].
“Hukum asal perayaan atau menentukan hari tertentu dalam satu tahun untuk mengenang terjadinya penyatuan beberapa wilayah dalam satu kekuasaan atau mengenang kemerdekaan negara tersebut ada dua pendapat ulama dalam hal ini.
Ada yang berpendapat bahwa hal ini adalah kegiatan non ritual ibadah yang pada dasarnya diperbolehkan. Menimbang bahwa hal ini tradisi dan budaya masyarakat yang tidak ada di dalamnya melainkan sekedar ekspresi gembira dan menyebut-nyebut nikmat Allah dengan adanya peristiwa yang melatarbelakangi diselenggarakannya kegiatan di hari tersebut. Mereka berargumen dengan hukum asal segala sesuatu adalah halal dan mubah.
Pendapat yang kedua melarang dengan alasan bahwa ini adalah ied sedangkan hukum asal ied adalah haram. Hal itu karena saat Nabi tiba di kota Madinah penduduknya baik Aus ataupun Khajraj merayakan dua hari. Saat ditanyakan kepada mereka mengenai dua hari tersebut. Mereka mengatakan bahwa dua hari tersebut adalah dua hari yang mereka isi dengan ‘main-main’ semenjak masa jahiliah. Nabi lantas bersabda bahwa Allah telah ganti dua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik yaitu Iedul Adha dan Iedul Fitri.
Dari hadits ini sejumlah ulama membuat kesimpulan bahwa tidak boleh menentukan hari tertentu dalam satu tahun untuk diisi dengan acara senang-senang dan main-main karena hari semacam itu telah diganti dengan dua hari yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Iedul Fitri.
Sesuatu yang telah diganti itu semestinya ditinggalkan dan tidak boleh diambil. Ini dua pendapat ulama dalam masalah ini. Masing masing pendapat ini memiliki ulama ulama yang membela dan mendukungnya.
Yang paling dekat dengan kebenaran dari dua pendapat ini dari alasan dan kaedah adalah pendapat yang mengatakan bahwa peringatan semacam ini tergolong masalah tradisi, bukan ibadah yang manusia punya hak untuk menentukan hari tertentu yang mereka inginkan karena tidak ada unsur ritual keagamaan di dalamnya sedangkan yang namanya bid’ah itu terkait dengan unsur ibadah.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa HP itu bid’ah maka itu tidak benar karena HP itu tidak memiliki kaitan dengan ritual ibadah. Adanya penggunaan HP untuk mengetahui waktu ibadah, menuntut ilmu dan menambah wawasan itu tidak ada kaitannya dengan ritual ibadah. Itu sekedar sarana yang dalam masalah saranan kebaikan terdapat aturan yang longgar.
Sesuatu yang disebut ied sacara syariat itu harus memuat dua unsur, disamping ada unsur ritual ibadah ada juga unsur non ibadah.
Menimbang bahwa unsur ritual ibadah itu tidak ada dalam acara peringatan semacam ini, tidak ada orang yang membuat ritual ibadah semisal shalat pada hari kemerdekaan maka acara ini tergolong non ibadah sehingga hukum asalnya adalah mubah.
Longgar dalam memberikan label bid’ah pada kegiatan semisal ini menyebabkan banyak hal-hal yang tergolong budaya akan dilabeli bid’ah.
Misalnya saat pagi orang terbiasa mengucapkan ‘selamat pagi’ dan ini bisa kita katakan dilakukan setiap hari. Demikian pula ‘selamat sore’ di sore hari, ‘selamat tidur’ saat malam. Apakah rutinitas semisal ini tergolong bid’ah? Jawabannya tentu saja ‘tidak’ karena ini tergolong non ritual keagamaan. Tidak ada orang merasa beribadah kepada Allah dengan melakukan hal-hal di atas.
Oleh karena itu unsur ibadah itu tidak terlihat dalam acara peringatan ini.
Memang ada yang menganut kaedah yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Sebenarnya saya pribadi berusaha untukmenemukan landasan kaedah ini dari perkataan para ulama terdahulu namun saya belum mendapatkannya. Saya memang belum maksimal mencarinya namun saya sudah cukup bersusah payah untuk mendapatkannya dari perkataan para ulama sebelum Ibnu Taimiyah. Kaedah Ibnu Taimiyah tersebut mengatakan bahwa ied itu tergolong bab ibadah bukan bab non ibadah.
Dampak jika kita terima kaedah ini banyak hal yang berputar secara periodik tergolong bid’ah.
Intinya mengenai hukum peringatan semisal ini ada ulama yang berpendapat hukumnya mubah, ada yang berpendapat hukumnya makruh dan ada juga yang mengharamkannya. Ini tiga pendapat ulama mengenai membuat hari tertentu yang diperingati secara periodik.
Perbedaan pendapat ini tentu harus dipertimbangkan supaya tidak ada yang beranggapan hanya ada satu pendapat dalam masalah ini baik mubah atau pun haram.
Initinya ada kelonggaran dalam masalah ini. Hal ini bukanlah permasalahan ushuliyyah [hal-hal mendasar] yang tidak ada perselisihan di dalamnya.
sumber: https://youtu.be/nVBbP9RmaF8