Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat dan Tahap-tahapnya
Oleh EDI S. EKAJATI
KATA Islamisasi berasal dari bahasa Inggris Islamizationyang berarti pengIslaman, upaya agar seseorang menjadi penganut agama Islam (muslim). Jelas, di dalam kata-kata Islamisasi dan pengIslaman itu terkandung makna kata kerja (kegiatan atau proses), dinamis, aktif; bukan kata benda, kemandegan dan fasif. Upaya dimaksud berwujud seorang muslim menyampaikan ajaran agama Islam kepada orang lain. Upaya tersebut dapat dilakukan secar individual dan dapat pula dilakukan secara massal. Hasil kegiatan itu dapat berwujud secara kuantitas (berupa jumlah orang yang menganut agama Islam) dan dapat pula berwujud secara kualitas (berupa tingkat keIslaman seorang muslim, baik yang menyangkut tingkat keimanan, tingkat penguasan ilmu agama, maupun tingkat pengamalannya).
Karena itu, Islamisasi bukanlah suatu peristiwa, melainkan suatu proses. Proses tersebut dapat dijabarkan berupa rangkaian peristiwa yang dapat diklasifikasikan secara vertikal dan juga secara horisontal. Pelaku Islamisasi adalah muslim, sedangkan sasarannya adalah non muslim sebagai sasaran utama yang hasilnya menyangkut soal kuantitas dan juga muslim yang hasilnya menyangkut soal kualitas. Dengan demikian, kegiatan Islamisasi dapat diklasifikasikan atas (1) mengIslamkan orang yang belum muslim (kafir), dalam rangka menambah jumlah muslim (kuantitas); dan (2) mengIslamkan orang yang sudah muslim, dalam rangka meningkatkan kualitas muslim.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka secara garis besar proses Islamisasi di Jawa Barat dapat dibedakan atas empat tahap. Keempat tahap dimaksud adalah:
Tahap memperkenalkan agama Islam kepada orang-orang yang belum menganut agama Islam (non muslim atau kafir)Tahap memberikan pelajaran tentang ajaran Islam dan memperkuat eksistensi umat Islam.Tahap memperdalam ilmu agama Islam dan menerapkan konsep Islam dalam kehidupan masyarakat, serta menantang penguasa kafir.Tahap memperbaharui pemikiran dan kehidupan Islam di dalam masyarakat
Tahap Pertama: Konversi
TAHAP pertama tentu dimulai sejak orang pertama yang beragama Islam menginjakkan kakinya di bumi Jawa Barat. Siapa orang Islam pertama yang menginjakkan kakinya di bumi Jawa Barat dan kapan dia datang ke sini? Jawabannya pasti atas pertanyaan tersebut tidak dapat diperoleh hingga sekarang, karena sumbernya belum ditemukan.
Menurut sebuah sumber tradisi lokal yang dicatat oleh J. Hageman (1866:196), orang pertama yang beragama Islam di Jawa Barat, dalam hal ini ke Cirebon Girang, kemudian Galuh, ialah Haji Purwa. Ia datang pada tahun 1250 tahun jawa atau 1337 Masehi. Ia adalah putera Prabu Kuda Lelean dari Galuh yang masuk Islam ketika sedang dalam perjalanan berniaga ke India. Ia diIslamkan oleh saudagar Arab.
Menurut Pangeran Arya Cirebon (Atja, 1986:31, 122-123, 159-160) yang dikemukakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (1720), orang yang pertama datang kemudian menetap di bumi Jawa Barat ialah Syeikh Qura atau Syeikh Hasanuddin. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Sidiq, seorang ulama terkenal dari negeri Campa. Atas jasa baik Ki Jumajanjati, penguasa pelabuhan Muhara Djati, ia bermukim dan menjadi guru agama Islam di Karawang. Ia menjadi guru dalam agama Islam bagi Nyi Subanglarang, putera Jumajanjati, yang lahir pada tahun 1404 Masehi. Nyi Subanglarang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, raja Pajajaran.
Di samping itu, menurut Pangeran Arya Cirebon (Atja, 1986:31-32, 122-123, 158-160) ada pula guru agama Islam lain yang datang dan kemudian menetap di Amparan Djati, yaitu Syeikh Nuruljati atau disebut juga syeikh Datuk Kahpi atau Syeikh Idhopi. Ia berasal dari tanah Arab dan datang ke sana sebagai utusan raja Parsi. Ia menjadi guru agama Islam bagi Walangsungsang, putera Nyai Subanglarang dari Prabu Siliwangi, yang mempelopori pembangunan Cirebon sekitar tahun 1445 Masehi. Sedangkan orang Islam pertama yang datang dan mengIslamkan beberapa penduduk kota pelabuhan Banten, menurut Pangeran Arya Cirebon, ialah Syeikh Rakhmat atau Sunan Ngampel. Masa hidup Sunan Ngampel lebih kemudian dari Syeikh Nurjati, tetapi lebih dahulu dari Susuhunan Djati (Sunan Gubung Djati) yang tiba di Cirebon tahun 1470 Masehi.
Sementara itu, Pangeran Arya Cirebon mengemukakan pula bahwa pada waktu Syeikh Qura datang di kota pelabuhan Jumajanjati (sekitar Gunung Djati sekarang), kota pelabuhan tersebut telah biasa didatangi oleh saudagar-saudagar, antara lain yang berasal dari Parsi, Arab, India, Pasai, Malaka, Palembang. Mereka telah beragama Islam. Dengan demikian, jika berita tersebut benar, maka telah ada orang Islam datang ke kota Pelabuhan itu sebelum Syeikh Qura, walaupun tidak diketahui identitasnya.
Mengenai orang (saudagar) yang datang ke Pulau Jawa, telah diberitakan oleh orang Cina pada abad ke-7 Masehi. Menurut berita Cina tersebut (Groenevelt, 1960) ada orang Tache (sebutan bagi orang Arab) yang datang ke kerajaan Holing yang sedang diperintah oleh Ratu Si-Mo. Tentu orang Arab tersebut adalah orang Islam dan yang dimaksud dengan Ho-Ling adalah kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Karena arah jalan dagang, mungkin mereka pun singgah di Jawa Barat. Namun orang Arab dimaksud tidak dapat diidentifikasi lebih jauh, dan mengenal hal ini tidak ada sumber lain yang memberitakan. Hanya dapat diketahui bahwa di Leran (Gresik, Jawa Timur) ditemukan kuburan Islam dari seorang bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada abad ke11 Masehi, dan di ibu kota bekas kerajaan Hindu Majapahit (Jawa Timur) ditemukan sejumlah kuburan Islam yang berasal dari abad ke-14 Masehi.
Bahwa saudagar-saudagar Islam telah banyak yang berdatangan ke kota-kota pelabuhan di wilayah Jawa Barat pada awal abad ke-16 telah disaksikan oleh Tome Pires, seorang Portugis, pada tahun 1513 (Cartesao, 1944). Pada waktu ia mengunjungi kota-kota pelabuhan; Banten, Pontang, Cikandi, Tanggerang, Kelapa (Jakarta sekarang), Kerawang dan Cimanuk (Indramayu sekarang) yang dikatakannya sebagai kota pelabuhan kerajaan Sunda.
Kota pelabuhan Cirebon yang dikunjunginya juga, disebutkan di luar kerajaan Sunda dan penduduk serta penguasanya telah beragama Islam. Sedangkan di wilayah kerajaan Sunda, hanya di kota pelabuhan Cimanuk yang bergama Islam, dikatakannya merupakan pendatang yang berasal dari sebelah timur. Tetapi dikatakan oleh Tome Pires bahwa pada waktu itu raja Sunda merasa khawatir sehubungan dengan seringnya dan banyaknya saudagar Islam berdatangan (keluar-masuk) ke kota-kota pelabuhan dalam wilayah kerajaannya.
Seiring dengan ekspedisi militer dari Demak dan Cirebon, penduduk pelabuhan Banten, Kelapa, dan sekitarnya mulai berkenalan dengan agama Islam secara intensif dan menyeluruh pada tahun 1526 dan 1527 (Djajadiningrat, 1983:81-82). Pada tahun 1546 di Banten dan Cirebon telah berdiri kekuasaan Islam dan sepanjang sejarah pesisir utara Jawa Barat agaknya telah didominasi oleh kekuasaan dan suadagar Islam (Djajadiningrat, 1983:84-86). Arsitek dan pendiri kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten adalah Susuhunan Djati, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati.
Menurut Pangeran Arya Cirebon, sejak 1528 Susuhunan Djati berupaya pula memperkenalkan agama Islam terhadap Masyarakat pedalaman tanah Sunda (Jawa Barat). Ia mendatangi daerah pedalaman, seperti Kuningan, Sindangkasih, Talaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Pagadingan, Indralaya, Batulayang, dan Timbanganten. Upaya ini dilanjutkan oleh tokoh lain, menurut tradisi setempat, seperti Pangeran Makhdum di daerah Pasir Luhur (Ciamis Timur), Syeikh Abdul Muhyi di daerah Pamijahan (Tasikmalaya Selatan), Pangeran Santri di daerah Sumedang, Aria Wangsa Goparana di daerah Subang dan kemudian Cianjur oleh putranya (Aria Wiratanudatar).
Menurut Sajarah Banten, penyebaran agama Islam di daerah Banten dilakukan secara intensif sejak masa pemerintahan Hasanuddin (1526-1570), baik di daerah pesisir maupun di daerah pedalamannya. Sedangkan upaya memperkenalkan agama Islam terhadap penduduk daerah Bogor yang waktu itu menjadi ibu kota kerajaan Sunda adalah Maulana Yusuf, penguasa Banten putera Hasanuddin, pada tahun 1579 Masehi. Ia memimpin pasukan Islam Banten untuk menduduki ibu kota Pakuan Pajajaran (Djajadiningrat, 1983:145-155).
Bahwa proses Islamisasi di daerah Jawa Barat dilakukan dengan ditunjang oleh kekuatan militer, bukan hanya diungkapkan oleh sumber dari kalangan orang Islam (Banten dan Cirebon) dan musuhnya (orang Portugis) saja, tetapi diakui juga oleh sumber yang berasal dari pihak kerajaan (Hindu) Sunda sendiri, yaitu Carita Parahiyangan (Atja, 1968:34 & 58). Upaya penyebaran agama Islan di daerah pedalaman Banten, Bogor, dan Sukabumi kiranya dilakukan lebih intensif oleh Syeikh Yusuf dan pengikutnya pada akhir abad ke-17 Masehi, tatkala beliau bergerilya terhadap serdadu kompeni bersama tentara Banten pimpinan Sultan Agung Tirtayasa (Tjandrasasmita, 1965). Dengan demikian pusat penyebaran Islam di Jawa Barat ada dua, yaitu Cirebon dan Banten.
Sesungguhnya, upaya memperkenalkan, menyebarkan agama Islam di kalangan masyarakat Jawa Barat belum berhenti hingga sekarang, karena masih adanya penduduk Jawa Barat yang belum menganut agama Islam. Mereka tidak beragama Islam sejak dulu, seperti masyarakat Kanekes di Banten Selatan; ada pula penduduk yang keluar dari agama Islam seperti masyarakat Madraisme yang berpusat di Cigugur (Kuningan).
Tahap Kedua: Intensifikasi
TAHAP kedua dimulai dari Syarif Hidayatullah mendirikan pusat kegiatan pendidikan Islam di bukit Sembung Cirebon. Ia menjadi guru agama Islam. Di situlah ia mengajarkan seluk beluk ajaran Islam kepada generasi pertama (1470) kaum muslimin yang bermukim di daerah itu. Kegiatan tersebut melahirkan ulama-ulama Islam yang kemudian membuka kegiatan serupa di berbagai tempat di tanah Sunda untuk membimbing umat Islam generasi pertama di daerahnya masing-masing.
Model lembaga pengajaran yang didirikan oleh Susuhunan Djati Cirebon, ditempuh pula oleh Syeikh Abdul Muhyi di Pamijahan, Pangeran Makhdum di Dayeuh Luhur, Aria Wangsa Goparana di Subang. Di samping melalui pengajaran, kegiatan Islamisasi yang dilakukan oleh Susuhunan Djati ditempuh melalui cara-cara lain, antara lain:
Pernikahan, baik yang dilakukan oleh dia sendiri (seluruh istrinya berjumlah 6 orang; tetapi tidak bersamaan satu waktu), yang berasal dari beberapa daerah (Cirebon, Banten, Jawa Timur) dan berasal dari kelompok sosial berbeda (Cina, Arab, dan Pribumi); maupun pernikahan yang dilakukan anak-cucu Susuhunan Djati; mereka menikah dengan keluarga keraton Demak, ulama pembesar pendatang.Menjalin persahabatan dan kerjasama dengan negara tetangga (Demak, Pasai, dan Malaka) dan kepada daerah di tanah Sunda.Mengirimkan guru agama di daerah-daerah pedalaman tanah Sunda danMenegakkan kekuasaan Islam di daerah-daerah yang telah dikuasai kaum muslimin, seperti di Banten (Kepala daerah Hasanuddin, 1526), Kelapa (kepala daerah Fadhilah Khan; 1527), dan Cirebon (dipimpin Susuhunan Djati sendiri).
Patut dicatat bahwa pusat kekuasaan Islam di Jawa Barat hanya berada di daerah pesisir (Banten, Cirebon, dan Kalapa), tidak pernah ada upaya mendirikan pusat kekuasaan Islam di daerah pedalaman seperti di Pajang dan Mataram (Jawa Tengah). Agaknya munculnya kekuasaan Islam di daerah pedalaman itu dihindari, terbukti dengan penyerangan Cirebon atas Sumedanglarang yang berupaya menjadi pusat kekuasaan (Widjajakususma, 1960).
Tahap Ketiga: Aktualisasi
TAHAP ketiga ditandai dengan berdirinya pesantren-pesantren, tempat menggodog generasi muda muslim, sehingga dapat menguasai ilmu agama dan menerapkan pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam. Walaupun kegiatan ini telah dirintis sejak zaman Susuhunan Djati, tetapi secara meluas dan kentara dimulai sejak abad ke-18 Masehi.
Hal ini dimungkinkan oleh telah dirasakan keperluan bagi pendidikan anak-anak serta dorongan karena mulai masuknya pengaruh orang Belanda di lingkungan keraton-keraton: Cirebon dan Banten, yang ditandai berdirinya pesantren yang didirikan oleh Kyai Asyrafuddin di Sumedang dan Kyai Muqayyim di Cirebon Timur (1773), mungkin pesantren di Caringin Banten. Dalam perkembangan selanjutnya (abad ke-19) kecendrungan untuk menghadapi pemerintahan kolonial asing lebih nampak lagi. Seperti terjadi di Jatitujuh (Majalengka) dipimpin ki Bagus Rangin, di Lengkong (Kuningan) dipimpin Ki Hasan Malani, dan di Cilegon (Banten) dipimpin oleh Kyai Wasid.
Dalam masa itu, kegiatan pengIslaman orang-orang non-Muslim dan pengajaran agama Islam tetap berlangsung. Pada abad ke-18 diberitakan masih ada penganut agama lama (Hindu) yang berdomisili di sekitar Gunung Cikuray, Garut Selatan (Atja, 1970) dan di Kanekes (Banten Selatan). Dalam pada itu, hubungan dengan tanah Arab (pusat Islam) melalui sarana ibadah naik haji makin meningkat pada abad ke-19 Masehi (Kartodirjo, III 1975; 1984).
Tahap Keempat: Pembaharuan
TAHAP keempat ditandai dengan munculnya aliran-aliran dalam tarekat (Satariah, Qadiriyah, dll) pada abad ke-19; kemudian pemikiran baru yang dibawakan oleh Syarekat Islam, Muhammadiyyah, Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), dan Persatuan Umat Islam (PUI), yang kesemuanya membangkitkan motivasi baru dalam kehidupan umat Islam di Jawa Barat, dan di Indonesia pada umumnya, walaupun pemikiran-pemikirannya memliki perbedaan. Pengaruh Barat dalam metode pengajaran dan model pendidikan terasa pada masa ini (awal abad ke-20). Kiranya, memang perlu ada tema-tema tertentu dan metode-metode tertentu yang baru dalam setiap zaman agar agama Islam tetap up to date bagi umatnua.
Meskipun pada masa ini ada upaya secara sengaja dan terprogram untuk mengkafirkan orang-orang Islam di Jawa Barat oleh pihak Missi dan Zending, namun sebaliknya kegiatan Islamisasi tahap pertama, tahap kedua, dan tahap ketiga tersebut di atas tetap berlangsung dengan hasil-hasil yang nyata pula, dalam bentuk terbendungnya upaya-upaya Missi dan Zending, meningkatnya kualitas muslim, dan ada pula tambahan muslim-muslim baru.
Khatimah
BERDASARKAN uraian di atas, tampak nyata bahwa Islamisasi di Jawa Barat secara vertikal telah mengalami tahap perkembangan mencerminkan pula urutan kronologis. Namun demikian, secara horisontal proses Islamisasi itu tetap berlangsung pada tiap tahap vertikal, artinya pada tahap berikutnya berlangsung pula kegiatan tahap sebelumnya.
Dilihat dari kepentingan Islamisasi, jika generasi-generasi masa lampau telah memainkan peranan dengan keunggulan dan kelemahannya masing-masing dalam proses Islamisasi di Jawa Barat yang hasilnya dapat disaksikan dalam rekaman sejarah dan dalam masyarakat Jawa Barat sekarang ini, maka pertanyaan sekarang adalah, “Apa yang dapat generasi sekarang lakukan guna melanjutkan proses Islamisasi itu sesuai dengan situasi dan kondisi sosial dewasa ini dan masa sekarang.
Daftar Pustaka
Armando Cortesao. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: The Hakluyt Society.
Atja. 1972,& 1986. Carita Purwaka Caruban Nagari. Bandung: Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Brandes, J.L.A. 1911. Babad Tjarbon. Batavia: VBG LIX.
Edi S. Ekadjati. 1975. “Penyebaran Agama Islam di Jawa Barat”, dalam : Edi S. Ekadjati. 1975. Sejarah Jawa Barat; Dari Masa Prasejarah hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
Faille, P. De Roo La.. 1921. Bij de terreinschets van heilige begraafplaats Goenoeng Djati. Batavia: NBG LVIII.
Hoesein Djajadiningrat. 1913 & 1983. Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Haarlem: Joh.
Enschede & Zonen. (Terjemahan: Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten. Jakarta: Djambatan).
0 Response to "Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat dan Tahap-tahapnya"
Posting Komentar