Politik Militer Pasca Kemerdekaan 1950 – 1952
Armed forces are employed not only for war and the threat of war, whether for purposes of aggression or defense. Throughout history they have had other political and social functions as well. Peter Paret, Understanding War, 1993
PENGANTAR
Memasuki tahun 1950, saya mencatat ada dua peristiwa penting. Pertama, perubahan ketatanegaraan dari Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat. Kedua, wafatnya Kepala Staf APRIS, (semula Panglima Besar APRI) Letnan Jenderal Soedirman seorang panglima yang kharismatis, pada 29 Januari 1950 yang kemudian diganti oleh Kolonel T.B. Simatupang sebagai pemangku jabatan KSAPRIS. Sejak Simatupang menjabat KSAPRIS, ia terseret dalam pelbagai kesulitan yang pelik, akibat gagasan dan kebijakannya. Reaksi pertama adalah, bahwa ia dianggap mengabaikan pesan Panglima Besar, tatkala ia memimpin komisi militer dalam KMB. Soedirman pernah berpesan agar masalah-masalah Angkatan Perang diselesaikan di Yogyakarta, bukan di Den Haag. Bagi Simatupang pesan Soedirman memang sulit untuk ia laksanakan, karena tekanan para politisi yang cenderung ingin mengubah wajah TNI dari wajah tentara revolusi menjadi TNI yang profesional dalam wadah organisasi baru, yang kemudian diberi nama APRIS. Para politisi terutama delegasi KMB, cenderung menerima tawaran pemerintah Belanda, untuk membangun Angkatan Perang baru, dengan melalui:
- Amalgamasi TNI dengan mantan KNIL.
- Melakukan reedukasi prajurit TNI
- Pengiriman calon perwira untuk dididik di pendidikan militer di negeri Belanda
Reedukasi dan pendidikan calon perwira disepakati diselenggarakan oleh Misi Militer Belanda (MMB) selama tiga tahun. Realisasi dari keinginan ini sudah didukung oleh tokoh-tokoh besar terutama Drs. Moh Hatta yang memimpin delegasi RI ke KMB, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Koordinator Keamanan Dalam Negeri, Kolonel T.B. Simatupang, Kolonel Subiyakto, Komodor Suryadarma dan Kolonel Nasution. Para kolonel ini yang tamatan akademi militer menginginkan standar baru bagi APRIS, yaitu modern dan profesional. Keinginan mereka didukung oleh beberapa partai politik yang dipelopori oleh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ketiga, pokok tawaran tersebut, menjadi Program Kabinet RIS yang dipimpin oleh Moh. Hatta, antara lain:
“Mengusahakan reorganisasi KNIL dan pembentukan APRIS dan pengembalian tentara Belanda ke negerinya dengan waktu yang selekas-lekasnya (Deppen, 1970, hal.11)”.
Reaksi terhadap program pemerintah ini muncul dari kalangan komandan kesatuan mulai dari panglima divisi sampai komandan satuan bawah yang umumya berasal dari mantan tentara Peta. Mereka memperoleh dukungan dari tokoh nasional Presiden RIS, Soekarno, tokoh-tokoh partai politik Murba. Para politisi kelompok pertama dan pejabat pimpinan APRIS, dianggap mengabaikan faktor sosiopsikologis dengan mengedepankan rasionalitas dan lemah terhadap tekanan pihak lawan. Gagasannya dianggap bisa melunturkan patriotisme. Akibatnya, di lingkungan APRIS timbul dua faksi, yaitu faksi profesionalisme dan faksi patriotisme. Konflik gagasan tentang bagaimana membangun Angkatan Perang wajah baru berlarut-larut sampai 1955.
Kepelikan lain yang dihadapi pimpinan APRIS adalah timbulnya gangguan keamanan di daerah-daerah, yang berupa pemberontakan yang motivasinya berbeda-beda. Wilayah RIS tercabik-cabik oleh perang saudara. Keamanan merupakan persoalan tertinggi bagi RIS. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks tersebut KSAP Simatupang, menyerahkan penyelesaiannya kepada para Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara, sebagai pelaksana operasional.
Kepelikan lain yang dihadapi pimpinan APRIS adalah timbulnya gangguan keamanan di daerah-daerah, yang berupa pemberontakan yang motivasinya berbeda-beda. Wilayah RIS tercabik-cabik oleh perang saudara. Keamanan merupakan persoalan tertinggi bagi RIS. Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang kompleks tersebut KSAP Simatupang, menyerahkan penyelesaiannya kepada para Kepala Staf Angkatan Darat, Laut dan Udara, sebagai pelaksana operasional.
Pada bulan Desember 1949, Kepala Staf Angkatan Darat RIS, Kolonel A.H. Nasution menerima penyerahan Markas Besar dari Panglima KNIL Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, disaksikan oleh pejabat dari KNIL maupun APRIS. Sejak saat itu ADRIS, menempati Markas Besar baru. Hal yang sama terjadi pada ALRIS dan AURIS. Pada komando-komando daerah APRIS dalam waktu yang hampir bersamaan, para komandan militer daerah meresmikan peleburan mantan KNIL menjadi APRIS. Pasca peleburan ini menurut Nasution, merupakan puncak krisis, yaitu terbukanya jarak pemisah antara gagasan dan kenyataan (A.H. Nasution, III, 1983, hal.29). Sebagai seorang mantan Panglima Komando Djawa yang memimpin perang di Jawa memahami problema psikologis di lingkungan prajurit di daerah-daerah terutama setelah demobilisasi. Tentara dihadapkan kepada perubahan yang drastis tanpa persiapan mental. Pergolakan internal terjadi terutama pada satuan bawah. Para pejuang gerilya “pemegang saham Republik”, melakukan reaksi dan perlawanan dalam pelbagai bentuk. Kebijakan demobilisasi dan peleburan KNIL ke dalam organisasi APRIS merupakan keputusan politik yang paradoks. Nasution yang termasuk salah seorang konseptor dari tentara profesional, merasakan betapa sulitnya menyesuaian diri kepada sistem politik ala Barat (A.H. Nasution, 3, 1983, hal.295), Undang-Undang Darurat No.4/1950 (26 Januari 1950),menjadi pangkal kesulitan.
“Yang diterima sebagai anggauta APRIS ialah warga negara RIS, bekas Angkatan Perang Republik Indonesia dan warga negara RIS, bekas anggauta Angkatan Darat yang disusun oleh/atau di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan warga negara bekas anggauta dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda…………..”
(Disjarah A.D. Sejarah TNI-AD, 6, 1982, hal.103).
Landasan hukum ini lahir atas dasar keputusan politik, hasil kompromi dalam Konferensi Inter Indonesia (RI dan BFO) pada bulan Juli 1949. Kondisi ini dirasakan oleh Nasution sebagai tekanan psikologis dan politis, dengan mengorbankan “pemegang saham Republik”. Ia berdiri di simpang antara gagasan dan kenyataan, kemudian memilih jalan tengah dengan memprioritaskan melakukan konsolidasi internal, terutama pada tingkat kepemimpinan untuk meminimalisasi pergolakan intern (A.H. Nasution, II, 1983, hal.241).
Konsolidasi kepemimpinan pada tingkat markas besar berhasil diselesaikan. Nasution “menarik” beberapa perwira kharismatis di daerah ke Markas Besar, antara lain Panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Sungkono. Memutasi perwira bukan perkara yang mudah pada saat itu. Pertimbangannya termasuk politis dan ideologis. Beberapa perwira kharismatis yang dinilai “berwarna merah” diantaranya para Letnan Kolonel Slamet Riyadi, Suadi, Sudiarto, di non-job kan. Semula mereka adalah komandan brigade yang kharismatis, termasuk pula Letnan Kolonel Kahar Mudzakkar mantan Kepala Staf Brigade 16 (Seberang), (Radik Djarwadi, Sejarah Corps Hasanuddin, 1972, hal.39).
Peristiwa peleburan mantan KNIL ke APRIS, di Negara Indonesia Timur (NIT) ternyata berkembang menjadi masalah serius. Para pemimpin NIT berpendapat bahwa APRIS adalah kesatuan militer yang berdiri sendiri disuatu negara bagian. Pendapat ini sebenarnya mengingkari keputusan hasil konferensi Inter Indonesia bulan Juli 1949.
Konsolidasi kepemimpinan pada tingkat markas besar berhasil diselesaikan. Nasution “menarik” beberapa perwira kharismatis di daerah ke Markas Besar, antara lain Panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Sungkono. Memutasi perwira bukan perkara yang mudah pada saat itu. Pertimbangannya termasuk politis dan ideologis. Beberapa perwira kharismatis yang dinilai “berwarna merah” diantaranya para Letnan Kolonel Slamet Riyadi, Suadi, Sudiarto, di non-job kan. Semula mereka adalah komandan brigade yang kharismatis, termasuk pula Letnan Kolonel Kahar Mudzakkar mantan Kepala Staf Brigade 16 (Seberang), (Radik Djarwadi, Sejarah Corps Hasanuddin, 1972, hal.39).
Peristiwa peleburan mantan KNIL ke APRIS, di Negara Indonesia Timur (NIT) ternyata berkembang menjadi masalah serius. Para pemimpin NIT berpendapat bahwa APRIS adalah kesatuan militer yang berdiri sendiri disuatu negara bagian. Pendapat ini sebenarnya mengingkari keputusan hasil konferensi Inter Indonesia bulan Juli 1949.
“APRIS adalah Angkatan Perang Nasional, Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi APRIS”. (Disjarah A.D. 6, 1983, hal.100)
Namun para pemimpin NIT menafsirkan lain. Akhirnya setelah Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan Perdana Menteri NIT Anak Agung Gde Agung, yang juga Menteri Dalam Negeri RIS, dan Wakil Perdana Menteri NIT Dr. Soumokil, tercapai suatu kesepakatan.
- Keamanan di NIT menjadi tanggung jawab pemerintah NIT, apabila tidak mampu APRIS dari TNI akan di minta
- Pemerintah RIS tidak akan membentuk Gubernur Militer di NIT, tapi dibentuk Komisi Militer dan Teritorial Indonesia Timur (KMIT), yang dipimpin Ir.Putuhena dengan 21 anggota APRIS (TNI).
Pada 27 Desember 1949, Kolonel Schotborg Panglima Divisi KNIL Indonesia Timur menyerahkan tanggung jawab keamanan kepada anggota KMIT, Letkol A.J. Mokoginta, yang didampingi oleh Mayor Pieters. Pada 1 Maret 1950, pemangku jabatan KSAPRIS Kolonel T.B. Simatupang tiba di Makassar untuk membahas tindak lanjut mengenai peleburan KNIL ke APRIS dengan pimpinan KNIL, sebagaimana di amanatkan oleh kabinet. Pihak KNIL tetap berpendirian bersedia dileburkan ke APRIS dengan syarat tetap berada di wilayah NIT. Rupanya pihak KNIL takut kehilangan legalitasnya sebagai militer. Masalah peleburan menemui jalan buntu tanpa diduga. Pada 30 Maret 1950, Kompi KNIL di bawah pimpinan Kapten Andi Azis, melapor kepada Letkol Mokoginta dan diresmikan sebagai APRIS. Perkembangan peleburan KNIL ke APRIS di Makassar ini, dinilai oleh Nasution sebagai suatu pertanda baik terkesan pihak KNIL menyadari kekeliruannya.
Pulau Jawa yang memikul beban berat, atas banyaknya jumlahnya kesatuan militer disetiap teritorial sebagian perlu dipindahkan ke wilayah lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nasution untuk memindah Brigade 16 (Seberang) ke daerah asalnya di Sulawesi. Brigade 16 (Seberang) yang semula adalah Laskar-laskar yang bertempur di Surabaya. Terbentuk setelah masa Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) 1948. Brigade yang berasal-usul dari Laskar ini, bermarkas di sekitar Gunung Kawi daerah Malang Barat Daya, dengan nama Kesatuan Commando Kawi Selatan (KCKS) dipimpin oleh Letkol J.F. Warrouw. Brigade ini kemudian di ketahui sebagai pendukung Gerakan Pembela Proklamasi (GPP) yang dipimpin oleh Tan Malaka dan beberapa pemimpin partai Murba antara lain, Muhammad Padang, Jalil, Gondowardoyo, Jokosuroyo, Mbah Diro, Ny Kawaja, Soedjono, Samsu Harya Udaya (Soehario Padmodiwiryo, Memoar Hario Kecik,1995, hal.277).
Mereka mengadakan perjanjian yang dinamakan Kawi Pact di daerah Wlingi. Aktivitas Brigade ini mempengaruhi rakyat sekitar yang antara lain didukung oleh Batalyon Sabarudin. Puncak dari aksi Gerakan Pembela Proklamasi adalah memproklamasikan Pemerintah Demokrasi Rakyat Indonesia, di Blimbing. Mereka menganggap RI yang dipimpin Soekarno Hatta telah menyerah. Tan Malaka diangkat sebagai Presiden dan Letkol Warrouw sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabarudin yang terkenal kejam diangkat sebagai Panglima Besar. Setelah peristiwa itu anak buah Warrouw dan Sabarudin melakukan aksi-aksi yang dianggap melampaui batas. Mayor Banurejo Komandan KDM Kediri diculik dan dibunuh di daerah Kalipare (Malang Selatan).
Kompi Tenges melucuti satu peleton CPM (Haryono) di desa Kluncing dan satu peleton dari Depot Batalyon (Nailun Hamam). Peristiwa ini oleh Mayor Muchlas Rowi, Komandan KDM Malang Selatan dilaporkan kepada komandan Brigade/ Wehrkreise Dr. Soedjono. Dengan “catatan” atas “prestasi” itulah KSAD, memerintahkan batalyon-batalyon dari Brigade 16 (Lama) kembali ke daerah asal di Sulawesi. (M.Muchlas Rowi, Catatan, 2000, hal.39). Keberangkatan Brigade ini ke Sulawesi, telah mengurangi beban pulau Jawa, dan setidak-tidaknya memotong pengaruh jaringan politik kelompok Tan Malaka yang masih kuat di Jawa Timur dan di Jawa Barat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh.
Berita datangnya Brigade Warrouw, disambut oleh Andi Azis bersama kesatuannya yang berkekuatan 800 orang dengan letusan senjata pada 5 April 1950, sehingga brigade memindahkan tempat debarkasinya. Penduduk kota Makassar diliputi suasana panik.
Sementara pada Kementerian Pertahanan telah terbentuk Pos Komando pengendalian yang memantau kondisi keamanan di Indonesia bagian Timur. Tugas posko ini antara lain mempersiapkan satu pasukan expedisi yang sewaktu-waktu diberangkatkan ke Indonesia Timur. Pasukan yang dipersiapkan berkekuatan tiga brigade. Satu brigade dari Siliwangi (Letkol Kosasih), satu brigade dari Brawijaya (Letkol Sokowati), satu brigade dari Diponegoro (Letkol Soeharto) dan satu batalyon dari Brigade 16 (lama) yaitu Batalyon Andi Mattalatta. Setelah terjadi peristiwa pembangkangan Kapten Andi Azis, Kolonel Kawilarang ditunjuk sebagai Panglimanya dan Letkol Sentot Iskandar Dinata sebagai Kepala Staf. Kolonel Kawilarang ditunjuk karena memiliki kharisma yang tinggi dan disegani oleh kelompok KNIL.
Pasukan expedisi diberangkatkan secara bertahap. Angkatan Udara membawah perintahkan satu pesawat B-25 (pembom) dan pesawat angkut Dakota. AL membawah perintahkan Korvet Hang Tuah. Pada tanggal 26 April 1950 sebagai pasukan berada diperairan Sulawesi Selatan dan sebagian telah mendarat (A.H. Nasution, II, 1983).
Di dalam suasana kacau, Jaksa Agung NIT Dr. Mr Chr Soumokil meninggalkan Makassar menuju ke Ambon dengan pesawat militer Belanda. Pada 25 April 1950, Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan.
Jalan damai yang ditawarkan oleh pemerintah kepada tokoh-tokoh yang menamakan diri pendiri RMS, KSAD memerintahkan kepada Panglima Komando Expedisi Indonesia Timur, untuk merebut dan menduduki Ambon. Panglima Komando Expedisi meminta bantuan perkuatan kepada KSAD dan para Panglima Divisi. Panglima Divisi II/Diponegoro Kol. Gatot Subroto memerintahkan Batalyon Suradji, mantan Brigade Slamet Riyadi, Batalyon Sutarno, Batalyon Yusmin yang ketiganya bekas anak buah Brigade 6 (Sudiarto). Batalyon–batalyon ini oleh KSAD dan panglima divisinya masih di “kategorikan” ber-ideologi merah. Dua orang perwira mantan komandannya yaitu, Slamet Riyadi dan Soediarto di-non job-kan. Mereka berdua bergabung dengan bekas anak buahnya tanpa surat perintah mengikuti pasukan yang berangkat menuju Ambon setelah gagal menghadap Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Oleh Panglima Kawilarang, Slamet Riyadi ditugasi sebagai Komandan Grup. Dengan meletusnya peristiwa pemberontakan bersenjata di Indonesia bagian Timur, setidaktidaknya satu divisi di keluarkan dari pulau Jawa. Kemudian menyusul beberapa batalyon yang diindikasi sebagai kelompok Murba dan Darul Islam ditugaskan ke luar Jawa, seperti batalyon Abdullah, dan beberapa batalyon mantan Hizbullah. Sebaliknya beberapa batalyon dari Sumatra dimasukkan ke Jawa dengan maksud untuk dilucuti dan dibubarkan dengan cara lain seperti Batalyon Pagarruyung dari Sumatra Tengah, Batalyon Bejo dan Batalyon Malau dari Tapanuli.
Mereka mengadakan perjanjian yang dinamakan Kawi Pact di daerah Wlingi. Aktivitas Brigade ini mempengaruhi rakyat sekitar yang antara lain didukung oleh Batalyon Sabarudin. Puncak dari aksi Gerakan Pembela Proklamasi adalah memproklamasikan Pemerintah Demokrasi Rakyat Indonesia, di Blimbing. Mereka menganggap RI yang dipimpin Soekarno Hatta telah menyerah. Tan Malaka diangkat sebagai Presiden dan Letkol Warrouw sebagai Menteri Pertahanan dan Mayor Sabarudin yang terkenal kejam diangkat sebagai Panglima Besar. Setelah peristiwa itu anak buah Warrouw dan Sabarudin melakukan aksi-aksi yang dianggap melampaui batas. Mayor Banurejo Komandan KDM Kediri diculik dan dibunuh di daerah Kalipare (Malang Selatan).
Kompi Tenges melucuti satu peleton CPM (Haryono) di desa Kluncing dan satu peleton dari Depot Batalyon (Nailun Hamam). Peristiwa ini oleh Mayor Muchlas Rowi, Komandan KDM Malang Selatan dilaporkan kepada komandan Brigade/ Wehrkreise Dr. Soedjono. Dengan “catatan” atas “prestasi” itulah KSAD, memerintahkan batalyon-batalyon dari Brigade 16 (Lama) kembali ke daerah asal di Sulawesi. (M.Muchlas Rowi, Catatan, 2000, hal.39). Keberangkatan Brigade ini ke Sulawesi, telah mengurangi beban pulau Jawa, dan setidak-tidaknya memotong pengaruh jaringan politik kelompok Tan Malaka yang masih kuat di Jawa Timur dan di Jawa Barat yang dipimpin oleh Chaerul Saleh.
Berita datangnya Brigade Warrouw, disambut oleh Andi Azis bersama kesatuannya yang berkekuatan 800 orang dengan letusan senjata pada 5 April 1950, sehingga brigade memindahkan tempat debarkasinya. Penduduk kota Makassar diliputi suasana panik.
Sementara pada Kementerian Pertahanan telah terbentuk Pos Komando pengendalian yang memantau kondisi keamanan di Indonesia bagian Timur. Tugas posko ini antara lain mempersiapkan satu pasukan expedisi yang sewaktu-waktu diberangkatkan ke Indonesia Timur. Pasukan yang dipersiapkan berkekuatan tiga brigade. Satu brigade dari Siliwangi (Letkol Kosasih), satu brigade dari Brawijaya (Letkol Sokowati), satu brigade dari Diponegoro (Letkol Soeharto) dan satu batalyon dari Brigade 16 (lama) yaitu Batalyon Andi Mattalatta. Setelah terjadi peristiwa pembangkangan Kapten Andi Azis, Kolonel Kawilarang ditunjuk sebagai Panglimanya dan Letkol Sentot Iskandar Dinata sebagai Kepala Staf. Kolonel Kawilarang ditunjuk karena memiliki kharisma yang tinggi dan disegani oleh kelompok KNIL.
Pasukan expedisi diberangkatkan secara bertahap. Angkatan Udara membawah perintahkan satu pesawat B-25 (pembom) dan pesawat angkut Dakota. AL membawah perintahkan Korvet Hang Tuah. Pada tanggal 26 April 1950 sebagai pasukan berada diperairan Sulawesi Selatan dan sebagian telah mendarat (A.H. Nasution, II, 1983).
Di dalam suasana kacau, Jaksa Agung NIT Dr. Mr Chr Soumokil meninggalkan Makassar menuju ke Ambon dengan pesawat militer Belanda. Pada 25 April 1950, Soumokil memproklamasikan Republik Maluku Selatan.
Jalan damai yang ditawarkan oleh pemerintah kepada tokoh-tokoh yang menamakan diri pendiri RMS, KSAD memerintahkan kepada Panglima Komando Expedisi Indonesia Timur, untuk merebut dan menduduki Ambon. Panglima Komando Expedisi meminta bantuan perkuatan kepada KSAD dan para Panglima Divisi. Panglima Divisi II/Diponegoro Kol. Gatot Subroto memerintahkan Batalyon Suradji, mantan Brigade Slamet Riyadi, Batalyon Sutarno, Batalyon Yusmin yang ketiganya bekas anak buah Brigade 6 (Sudiarto). Batalyon–batalyon ini oleh KSAD dan panglima divisinya masih di “kategorikan” ber-ideologi merah. Dua orang perwira mantan komandannya yaitu, Slamet Riyadi dan Soediarto di-non job-kan. Mereka berdua bergabung dengan bekas anak buahnya tanpa surat perintah mengikuti pasukan yang berangkat menuju Ambon setelah gagal menghadap Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX.
Oleh Panglima Kawilarang, Slamet Riyadi ditugasi sebagai Komandan Grup. Dengan meletusnya peristiwa pemberontakan bersenjata di Indonesia bagian Timur, setidaktidaknya satu divisi di keluarkan dari pulau Jawa. Kemudian menyusul beberapa batalyon yang diindikasi sebagai kelompok Murba dan Darul Islam ditugaskan ke luar Jawa, seperti batalyon Abdullah, dan beberapa batalyon mantan Hizbullah. Sebaliknya beberapa batalyon dari Sumatra dimasukkan ke Jawa dengan maksud untuk dilucuti dan dibubarkan dengan cara lain seperti Batalyon Pagarruyung dari Sumatra Tengah, Batalyon Bejo dan Batalyon Malau dari Tapanuli.
Nasution yang sejak awal sebagai salah seorang sponsor gagasan pembentukan tentara nasional baru yang profesional yang mengacu pada politik nasional, berpendirian bahwa untuk membangun kekuatan pertahanan, kekuatan Angkatan Darat dibatasi sampai 100 batalyon infanteri. Khusus di pulau Jawa, diperkuat dengan 90 batalyon dan 10 batalyon di luar Jawa. Pemikiran Nasution ini lahir berdasarkan pengalamannya sebagai Panglima Komando Jawa (1948-1949). Pemusatan kekuatan darat di Jawa bagi Nasution merupakan conditio sine qua non, sekalipun argumen dan kajiannya belum tuntas.
“Di tahun 1951 kita usahakan menyusun suatu kebijaksanaan (rencana strategi) yang bermaksud dalam tempo lima tahun telah diletakkan dasar-dasar teknis yang layak untuk memberikan alat modal yang ditempa dan ditumbuhkan oleh pemerintah kearah suatu tujuan yang akan ditetapkan”yaitu:
- Penyelesaian perang saudara
- Penciptaan suatu missi organisasi TNI dan Staf dan tempat-tempat pendidikan sebagai pangkal untuk membangun Angkatan Perang yang layak (A.H. Nasution,Tjatatan, 1955, hal.7)
Kebijakan politik yang disusun oleh Nasution pada 1951 itu dibatalkan oleh Parlemen pada 1952 karena ditentang oleh sejumlah partai politk. Mereka merespons negatif atas kebijaksanaan tersebut. Mengapa ?
Pertama, keputusan-keputusan Nasution yang pernah “menyingkirkan pasukan” yang memiliki kaitan ideologis dengan partai-partai politik ke luar Jawa, baik dalam penugasan operasi keamanan maupun mutasi antar daerah, dinilai sebagai hukuman kesatuan-kesatuan tersebut. Kedua, militer mulai melakukan perlawanan terhadap partai-partai politik untuk merebut kewibawaan partai terhadap militer. Sejak awal RIS wibawa partai-partai politik terhadap Angkatan Perang mulai pulih dibandingkan pada masa perang. Kebijakan Nasution dirasakan sebagai ancaman dan kunci pembuka pertarungan untuk memperebutkan kewibawaan militer terhadap partai-partai politik dalam sistim demokrasi (liberal).
Namun, tidak semua partai politik menentang kebijakan militer pemerintah. Keputusan Nasution untuk menyingkirkan pasukan-pasukan yang menurut catatannya pernah terlibat dalam aksi melawan pemerintah merupakan kebijakan yang tepat secara politis, karena sangat urgent untuk mengakhiri perang saudara serta sebagai langkah awal untuk mulai menata kembali Angkatan Perang sesuai dengan konsep baru. Reedukasi bagi seluruh anggota Angkatan Perang dan penyaluran tenaga demobilisan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan No.193/50 tanggal 14 Maret 1950, baik yang kembali ke masyarakat maupun melanjutkan pendidikan, juga sesuatu yang urgent, untuk mendidik kader-kader muda TNI yang profesional.
Konflik internal APRIS yang sejak awal karena adanya perbedaan pendapat dalam menanggapi keputusan KMB mengenai pembangunan militer baru yang mengkristal menjadi dua kelompok pendapat, yang masing-masing didukung oleh partai politik dan tokoh nasional, disadari oleh Nasution. Kondisi ini oleh Nasution disebut sebagai “bombom waktu” antara kita sendiri (A.H. Nasution, MPT, II, 1983, hal.295-296). Nasution memilih jalan tengah untuk meredakan konflik setelah berhasil melakukan konsolidasi organisasi.
Sebagai anggota Gabungan Kepala-kepala Staf (GKS), tanpa sepengetahuan KSAP Jenderal Mayor T.B. Simatupang, Nasution membentuk Panitya B yang bertugas merumuskan kejiwaan TNI sebagaimana yang dituntut oleh kelompok penentangnya. Karena ia berpendapat kredo kejiwaan bagi TNI yang berasal-usul dari tentara revolusi merupakan tuntutan kebutuhan, tidak cukup hanya dengan Sumpah Prajurit. Karena Sumpah Prajurit hanya pedoman keprajuritan (profesional) bukan pedoman kepejuangan (kredo) TNI. Pimpinan panitya ini diserahkan kepada Kolonel Bambang Supeno yang menjabat sebagai inspektur infanteri dan tokoh yang paling gigih menentang keputusan KMB. Ia penentang keras reedukasi yang dilakukan oleh Misi Militer Belanda (MMB). Bahkan ia mempersyaratkan para perwira yang akan atau setelah tamat SSKAD model MMB wajib mengikuti pelatihan di lembaga yang dibentuknya bernama Chandradimuka. Tujuannya untuk membekali dan memperkuat semangat patriotisme TNI. Setiap Angkatan diminta mengirimkan seorang utusan sebagai anggota panitya.
Panitya B ini bekerjasama dengan tokoh partai dan cendekiawan (Insinyur Sakirman, Drs. Moh. Ali, Prof. Dr. Purbotjoroko) berhasil merumuskan kredo (Creed) kepejuangan dan identitas Angkatan Perang RI. Kredo ini terdiri atas 7 pokok yang diberi nama Sapta Marga. Tatkala panitya melapor kepada KSAP Simatupang, ia sama sekali tidak mengerti apa artinya marga itu. Pada 5 Oktober 1952 kredo Sapta Marga disahkan dan wajib dibacakan pada setiap upacara sebagai internalisasinya. Bagi Nasution dengan lahirnya Sapta Marga ini dijadikan jembatan untuk mempertemukan dua kelompok pendapat yang bertentangan satu sama lain, yaitu suatu APRI modern dan profesional yang berjiwa patriot. Sekalipun Sapta Marga sudah terrumuskan, konflik internal dalam APRI memanas kembali karena “intervensi” wakil-wakil partai politik yang ada di parlemen.
Konflik internal APRIS yang sejak awal karena adanya perbedaan pendapat dalam menanggapi keputusan KMB mengenai pembangunan militer baru yang mengkristal menjadi dua kelompok pendapat, yang masing-masing didukung oleh partai politik dan tokoh nasional, disadari oleh Nasution. Kondisi ini oleh Nasution disebut sebagai “bombom waktu” antara kita sendiri (A.H. Nasution, MPT, II, 1983, hal.295-296). Nasution memilih jalan tengah untuk meredakan konflik setelah berhasil melakukan konsolidasi organisasi.
Sebagai anggota Gabungan Kepala-kepala Staf (GKS), tanpa sepengetahuan KSAP Jenderal Mayor T.B. Simatupang, Nasution membentuk Panitya B yang bertugas merumuskan kejiwaan TNI sebagaimana yang dituntut oleh kelompok penentangnya. Karena ia berpendapat kredo kejiwaan bagi TNI yang berasal-usul dari tentara revolusi merupakan tuntutan kebutuhan, tidak cukup hanya dengan Sumpah Prajurit. Karena Sumpah Prajurit hanya pedoman keprajuritan (profesional) bukan pedoman kepejuangan (kredo) TNI. Pimpinan panitya ini diserahkan kepada Kolonel Bambang Supeno yang menjabat sebagai inspektur infanteri dan tokoh yang paling gigih menentang keputusan KMB. Ia penentang keras reedukasi yang dilakukan oleh Misi Militer Belanda (MMB). Bahkan ia mempersyaratkan para perwira yang akan atau setelah tamat SSKAD model MMB wajib mengikuti pelatihan di lembaga yang dibentuknya bernama Chandradimuka. Tujuannya untuk membekali dan memperkuat semangat patriotisme TNI. Setiap Angkatan diminta mengirimkan seorang utusan sebagai anggota panitya.
Panitya B ini bekerjasama dengan tokoh partai dan cendekiawan (Insinyur Sakirman, Drs. Moh. Ali, Prof. Dr. Purbotjoroko) berhasil merumuskan kredo (Creed) kepejuangan dan identitas Angkatan Perang RI. Kredo ini terdiri atas 7 pokok yang diberi nama Sapta Marga. Tatkala panitya melapor kepada KSAP Simatupang, ia sama sekali tidak mengerti apa artinya marga itu. Pada 5 Oktober 1952 kredo Sapta Marga disahkan dan wajib dibacakan pada setiap upacara sebagai internalisasinya. Bagi Nasution dengan lahirnya Sapta Marga ini dijadikan jembatan untuk mempertemukan dua kelompok pendapat yang bertentangan satu sama lain, yaitu suatu APRI modern dan profesional yang berjiwa patriot. Sekalipun Sapta Marga sudah terrumuskan, konflik internal dalam APRI memanas kembali karena “intervensi” wakil-wakil partai politik yang ada di parlemen.
“Biarpun kita begitu disibukkan oleh tugas-tugas pemulihan keamanan dalam negeri, namun ditingkat atas TNI telah ramai persoalan ini . (AH Nasution, MPT, II, 1983, hal. 304)
Partai-partai politik yang merasa “terkena” degradasi pengaruhnya dalam TNI melakukan berbagai macam bentuk reaksi terhadap kebijakan KSAD. Kebijakan operasi, kebijakan mutasi dan penempatan personil direaksi dengan keras. Reaksi terbuka terjadi pada akhir 1950, tatkala KSAD diwawancara oleh wartawan harian Indonesia Raya pada 23 Desember 1950. Dalam wawancara itu Nasution menyatakan pendapatnya tentang posisi Indonesia dalam rangka perang dingin dan menyinggung kondisi politik dalam negeri.
“ Hendaknya ditiadakan pertikaian-pertikaian soal-soal lokal, soal propinsi sendiri, soal partai, soal boikot, soal menentukan penghargaan, soal kursi, soal pemilu, soal pidato dan upacara yang sampai kini meminta tenaga dan fikiran kita yang terbanyak dari kita.” (AH Nasution, MPT II, 1983 hal. 308-309).
Seksi pertahanan parlemen yang diketuai oleh Z. Baharudin (Murba) menanggapi bahwa tidak semestinya KSAD secara terbuka melakukan wawancara politis. Menurut saya, Nasution mempunyai maksud tersirat dan sengaja memanggil wartawan harian Indonesia Raya (kelompok pendukung Nasution) sebagai serangan balik terhadap kelompok penentangnya. Seksi pertahanan parlemen yang beranggotakan 17 orang kemudian mengajukan interpelasi kepada pemerintah, mempersoalkan apakah seorang KSAD berhak memberikan tafsiran (didepan umum) tentang politik bebas memilih blok (barat atau timur). Interpelasi seksi pertahanan ini kemudian meluas menjadi interpelasi parlemen dan polemik antar media massa. Nasution dibela oleh Harian Indonesia Raya sebaliknya harian Sin Po menuduh Nasution telah jauh memasuki area politik dengan mengemukakan semboyan “tentara tidak boleh berpolitik”.
“Dinegara-negara yang rakyatnya berkuasa, maka tentara itu berpolitik yaitu menganut politik yang dianut oleh rakyat dan mereka senantiasa berdiri di fihak rakyat…. tidak mungkin disuruh memusuhi rakyat karena kemauan beberapa orang saja. Tentara di Indonesia pun berpolitik. Dengan peristiwa Kolonel Nasution turut mempersoalkan politk baru-baru ini (desember 1950) ternyata tentara di Indonesia pun tentara itu tidak suka disuruh tidak berpolitik.(AH Nasution, MPT II, 1983, hal 313.)
Partai politik yang menanggapi dan mengeluarkan statement atas peristiwa wawancara Nasution ini adalah Partai Rakyat Indonesia yang dipimpin oleh Soetomo (bung Tomo). Secara lugas (dalam statementnya) partai ini mengembalikan konfrontasi tersebut ke masalah pokoknya, bahwa di kalangan atas partai-partai terdapat semacam perlombaan dari beberapa aliran politik yang mengambil hati opsir-opsir tinggi Indonesia guna diisi dengan cita-cita serta siasat partai itu masing-masing (AH Nasution, MPT II, 1983. hal. 314).
Peristiwa ini berakibat pembatalan rencana strategis 5 tahun Angkatan Darat yang memuat dasar-dasar teknis dengan modal warisan perjuangan untuk penyelesaian perang saudara dan penciptaan organisasi TNI, yang disusun pada masa kabinet Sukiman (April 1951-1952). Sejak itu menurut Nasution militer (Angkatan Darat) hanya memiliki kebijaksanaan terbatas pada pemeliharaan (pengelolaan) angkatan yang bersifat rutin. (AH Nasution, Tjatatan, 1955, hal. 7).
Konfrontasi antara Angkatan Darat dan parlemen serta partai-partai politik masih berlanjut. Namun, Angkatan Perang masih memiliki wewenang SOB yang didalam organisasi SOB itu ada Staf K (Keamanan) yang dipimpin oleh KSAP TB Simatupang. Dengan wewenang ini aktivitas partai-partai politik di daerah bisa dihambat sekalipun bukan di tingkat parlemen.
Peristiwa ini berakibat pembatalan rencana strategis 5 tahun Angkatan Darat yang memuat dasar-dasar teknis dengan modal warisan perjuangan untuk penyelesaian perang saudara dan penciptaan organisasi TNI, yang disusun pada masa kabinet Sukiman (April 1951-1952). Sejak itu menurut Nasution militer (Angkatan Darat) hanya memiliki kebijaksanaan terbatas pada pemeliharaan (pengelolaan) angkatan yang bersifat rutin. (AH Nasution, Tjatatan, 1955, hal. 7).
Konfrontasi antara Angkatan Darat dan parlemen serta partai-partai politik masih berlanjut. Namun, Angkatan Perang masih memiliki wewenang SOB yang didalam organisasi SOB itu ada Staf K (Keamanan) yang dipimpin oleh KSAP TB Simatupang. Dengan wewenang ini aktivitas partai-partai politik di daerah bisa dihambat sekalipun bukan di tingkat parlemen.
- Atmakusumah, Tahta Untuk Rakyat, Jakarta, 1982.
- Departemen Penerangan RI, Susunan dan Progaram Kabinet Republik Indonesia 1945-1970, Jakarta, 1970.
- DisjarahTNI-AD, Sejarah TNI AD, VI, 1945-1973, Bandung, 1982.
- Muchlas Rowi, M. Catatan Perjalanan Hidup, Pemikiran dan Pemahaman, Jakarta, 2000.
- Nasution, Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II, Jakarta, 1983.
- Nasution, Dr. A.H. Memenuhi Panggilan Tugas Jilid III, Jakarta, 1983.
- Radik Djarwadi, Sejarah Corps Hasanudin, Makassar, 1972.
- Saleh A. Djamhari, Memoar Jendral TNI (Pur) Soemitro, Jakarta, 1998.
- Simatupang, T.B. Laporan dari Banaran, Jakarta, 1961.
- Simatupang, T.B. Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai, Jakarta, 1981.
- Suhario Padmodiwiryo, Memoar Hario Kecik, Jakarta, 1995.