Perbedaan 4 Mahzab: Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi
Fikih merupakan ajaran Islam tentang hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an (3%) sebagai dasar hukum yang diperjelas dengan hadits Nabi SAW. Mazhab fikih pengertiannya adalah “tempat tujuan atau rujukan pemahaman hukum Islam”.
Mazhab sebagai aliran fiqih, terdapat empat mazhab terkenal. Keempat mazhab fikih Islam yang pada umumnya diakui ekistensinya di dalam masyarakat muslim dan termasuk golongan ahli sunnah diantaranya Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi. Semua ummat Islam apapun mazhabnya haruslah menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutannya [1], terutama dalam bersikap dan moral kehidupannya sebagai orang yang jujur, ikhlas, sabar, tegar, amanah, penyayang, terbuka, taat beribadah maupun beramal-sholeh, ramah, berakhlaq dan sebagainya.
Ada pula mazhab Syi’ah (salah satu sektenya Rafidiyah: terkenal bersikap menolak ke-khalifah-an Abu Bakar, Umar, dan Usman. Mereka hanya mengakui ke-khalifah-an Ali). Mazhab lainnya yaitu Zhahiri, Dhahiriyah / Dawudi dinisbatkan oleh Dawud Ibn Khalaf, Zaydy, Awza’i, Jaririyah dibentuk oleh al-Thabari, Sofyan dan oleh al-Tsawri. Namun sejumlah mazhab tersebut tidak berkembang dan tidak bertahan. Mazhab Ja’fari adalah sebagai pelopor lahirnya mazhab-mazhab lainnya.
Mengapa kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman tertentu, terutama mengenai fikih dan perbandingan mazhab? Ini dimaksudkan agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan tidak saling memutlakkan pendapat pribadi atau golongan sebagai yang paling benar, supaya tidak mudah memvonis seseorang atau golongan lain sebagai aliran sesat, disamping untuk menambah pengetahuan ke-Islam-an dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya pemahaman yang baik mengenai ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan ummat Islam). Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an: “Sesungguhnya semua orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara dua saudaramu, bertaqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat-Nya”. Maksudnya adalah kompromi (give and take), tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada kekerasan serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau mengakui apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa Islam itu adalah ‘damai’ dan perbedaan-perbedaan itu adalah ‘wajar’ serta dapat pula diambil hikmahnya. Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini sudah terjadi sejak masa Rasul dan masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud dan Utsman, juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya.
Ada beberapa catatan mengenai perbedaan pendapat fikih seperti dalam hal shalat, masalah perkawinan dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini:
Dalam masalah shalat: mengusap kepala dalam wudhu menurut ahli sunnah mazhab Maliki seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala, mazhab Hambali seluruh kepala dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib dalam semua rakaat, sedang Hanafi tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan (mustahabb), Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam shalat jamaah Jum’at jumlah minimal menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki, Hanafi 5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi dan Ja’fari tidak batal. Shalat jamak karena bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi melakukan jamak tanpa sebab (tidak bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang). Menurut Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali 20 rakaat, dan Maliki 36 rakaat.
Dalam masalah perkawinan: akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal, menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Syafi’i, Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari dianjurkan (mustahabb). Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita. Bermain-main (bukan bersetubuh) pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi adalah haram kalau tanpa aling-aling (pakaian / kain), menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali dan Ja’fari adalah boleh. Saksi dalam talak menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib.
Dalam masalah lainnya: seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut, dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya.
Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu mazhab, antara lain: Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu, setelah diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi.
1. Mazhab Maliki
Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi Qodi’Iyad: 93 H – 189 H [2]) konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57 tahun lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam Malik adalah seorang “Huffazh” (penghafal hadits) nomor satu pada zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal penghafalan hadits. Pada usia 40 tahun 100.000 hadits yang sudah dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa” (yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa” yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an, ialah “Almuwaththa”.[3]
Maliki ialah mazhab fiqh yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki diamalkan di Utara Afrika dan sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada muslim.
Mazhab ini berbeda daripada tiga mazhab yang lain kerana terdapat tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma' dan qiyas, Imam Maliki juga menggunakan amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu sebagai sumber tambahan. Mengikuti arahan Imam Malik, merupakan juga amalan orang Madinah dilihat sebagai sunnah yang hidup seakan memandang Nabi Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat di Madinah, dimana kebanyakan sahabat Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits yang dikaji oleh mazhab ini agak berbeda daripada mazhab yang lain.
Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada:
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW yang dipandang sah;
3) Ijma’ Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah);
4) Qias (kias / analogi / membandingkan);
5) Istislah. (istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu
Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum)
Mazhab ini banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4]
2. Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204 H) dilahirkan di Gazza, sebuah kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa kampung halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut: Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu: Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib r.a. Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya. Ketika masih kecil belajar membaca Al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di zamannya, secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5] dan mengenal dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah (kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama berdasarkan Sunnah seperti ajaran Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh dalam merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang).
Mengapa kita perlu mengenal perbedaan yang ada diantara penganut aliran ke-Islaman tertentu, terutama mengenai fikih dan perbandingan mazhab? Ini dimaksudkan agar supaya ada saling pengertian antar golongan dan tidak saling memutlakkan pendapat pribadi atau golongan sebagai yang paling benar, supaya tidak mudah memvonis seseorang atau golongan lain sebagai aliran sesat, disamping untuk menambah pengetahuan ke-Islam-an dan ke-Iman-an kita. Juga menekankan perlunya pemahaman yang baik mengenai ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan ummat Islam). Sebagaimana disebutkan Al-Qur’an: “Sesungguhnya semua orang yang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara dua saudaramu, bertaqwalah kepada Allah mudah-mudahan kamu mendapat rahmat-Nya”. Maksudnya adalah kompromi (give and take), tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. Dan tidak perlu ada kekerasan serta pemaksaan terhadap golongan lain untuk mengikuti atau mengakui apa yang menjadi keyakinan kelompoknya. Haruslah dipahami bahwa Islam itu adalah ‘damai’ dan perbedaan-perbedaan itu adalah ‘wajar’ serta dapat pula diambil hikmahnya. Perbedaan-perbedaan terutama fikih ini sudah terjadi sejak masa Rasul dan masa para sahabat. Diantaranya kasus Abu Bakar dan Umar, Ibn Mas’ud dan Utsman, juga masalah menyembelihan dan bercukur dalam hajji, tayamum dan shalat lagi, dan sebagainya.
Ada beberapa catatan mengenai perbedaan pendapat fikih seperti dalam hal shalat, masalah perkawinan dan lainnya. Adapun contohnya sebagai berikut ini:
Dalam masalah shalat: mengusap kepala dalam wudhu menurut ahli sunnah mazhab Maliki seluruh kepala tanpa telinga, mazhab Syafi’i sebagian kepala, mazhab Hanafi seperempat kepala, mazhab Hambali seluruh kepala dengan telinga, dan kelompok Syi’ah yaitu mazhab Ja’fari sebagian kepala depan. Membaca surat Al-Fatihah dalam shalat fardhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib dalam semua rakaat, sedang Hanafi tidak wajib, dan menurut Ja’fari wajib dalam dua rakaat pertama. Dalam hal mengucap salam menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah wajib, menurut Hanafi tidak wajib dan menurut Ja’fari adalah sunnat. Dalam hal Qunut Subuh dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi melakukan Qunut Subuh dan Maghrib, menurut Maliki dianjurkan (mustahabb), Syafi’i sunnat, dan menurut Hanafi tidak boleh. Dalam shalat jamaah Jum’at jumlah minimal menurut Maliki 12 orang laki-laki, Syafi’i dan Hambali 40 orang laki-laki, Hanafi 5 orang laki-laki, dan Ja’fari 4 orang laki-laki. Wudhu menyentuh wanita menurut Maliki batal kalau dengan telapak tangan, Syafi’i dan Hambali adalah batal, Hanafi dan Ja’fari tidak batal. Shalat jamak karena bepergian menurut Maliki, Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Hanafi adalah tidak boleh, dan Ja’fari mewajibkan. Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi melakukan jamak tanpa sebab (tidak bepergian, tidak hujan dan tidak pula sedang berperang). Menurut Syafi’i dan Hambali adalah boleh, sedang Maliki dan Hanafi tidak boleh dilakukan, dan menurut Ja’fari adalah wajib. Shalat berjamaah menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Ja’fari adalah sunnat, sedangkan Hambali adalah wajib. Dan untuk shalat Tarawih menurut Syafi’i, Hanafi dan Hambali 20 rakaat, dan Maliki 36 rakaat.
Dalam masalah perkawinan: akad nikah tanpa wali menurut Syafi’i dan Hambali adalah batal, menurut Maliki, Hanafi dan Ja’fari adalah sah. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Syafi’i, Hanafi, Hambali adalah wajib, menurut Maliki tidak wajib dan Ja’fari dianjurkan (mustahabb). Walimahan menurut Syafi’i adalah wajib dan Maliki adalah sunnat. Kifarat bila bersetubuh pada bulan Ramadhan menurut Syafi’i hanya pada pria saja, sedang Maliki pada pria dan wanita. Bermain-main (bukan bersetubuh) pada saat haid menurut Syafi’i dan Hanafi adalah haram kalau tanpa aling-aling (pakaian / kain), menurut Maliki adalam haram, sedang Hambali dan Ja’fari adalah boleh. Saksi dalam talak menurut Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali adalah tidak perlu, sedangkan menurut Ja’fari adalah wajib.
Dalam masalah lainnya: seperti masalah air mani menurut Syafi’i dan Hambali adalah suci, sedang menurut Maliki, Hambali dan Ja’fari adalah najis. Wudhu kemudian muntah menurut Syafi’i, Maliki dan Ja’fari tidak batal, menurut Hanafi batal jikalau penuhi mulut, dan bagi Hambali adalah batal. Bermalam di Mina pada hari Tasyriq menurut Syafi’i dan Maliki adalah wajib, Hanafi sunnat, Ja’fari dan Hambali adalah boleh. Menyentuh mushaf Qur’an tanpa wudhu menurut Maliki, Syafi’i dan Hanafi adalah haram, sedangkan menurut Hambali dan Ja’fari boleh dengan aling-aling. Buka puasa dalam perjalanan menurut Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali adalah boleh, dan menurut Ja’fari justru diwajibkan. Dan banyak lagi perbedaan-perbedaan lainnya.
Dalam sejarah pengkajian fikih, bermunculan ahlu mazhab, antara lain: Hasan Basri, Ats Tsaury Ibnu Abi Laila, Al Auza’iy, Al Laitsi dan Imam Dawud Al Zhairi. Perkembangan dari waktu ke waktu, setelah diadakan evaluasi dan seleksi sampai saat ini hanya empat mazhab yang mendapat dukungan para ulama yaitu Maliki, Syafi’i, Hambali dan Hanafi.
1. Mazhab Maliki
Imam Maliki (Malik ibn Anas Al Ashbaqi 93-179 H) lahir di Madinah pada tahun 93 H / 712 M, (versi Qodi’Iyad: 93 H – 189 H [2]) konon ia dikandung 12 bulan, bahkan riwayat lain selama 3 tahun. Dan sekitar 57 tahun lebih tua dari Imam Syafi’i. Beliau adalah seorang ulama atau Imam yang tekun mengumpulkan hadits dan menghafalnya. Ia hidup pada masa Tabi’in dan Tabi’tabi’in (orang yang berjumpa dengan sahabat Nabi dan orang yang berjumpa dengan orang yang telah berjumpa dengan sahabat Nabi). Pada saat itu Ia hidup di kota kerajaan Islam di Kota Kuffah. Adapun Madinah, di kala itu termasuk kota yang sepi, hanya dihuni oleh pemangku-pemangku hadits, ahli tafsir, ulama ahli tashawuf, meraka terdiri dari Sahabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’tabiin. Sedang kota Kuffah didiami oleh jago-jago politik, yang tidak kalah pula fungsinya dengan ulama-ulama. Oleh sebab itu dasar Mazhab Maliki diantaranya ialah amalan orang Madinah (Ulama Madinah). Imam Malik adalah seorang “Huffazh” (penghafal hadits) nomor satu pada zamannya. Tidak ada seorangpun yang bisa menandingi beliau dalam hal penghafalan hadits. Pada usia 40 tahun 100.000 hadits yang sudah dihafal diluar kepala itu, lalu diteliti pe-rawi-nya dan beliau cocokkan dengan ayat-ayat suci Al Qur’an tentang arti dan tujuannya. Pada akhirnya hanya 5000 hadits yang oleh beliau dianggap shahih. Dan kemudian beliau kumpulkan menjadi satu dalam kitab yang diberi nama “Almuwaththa” (yang disepakati). Sesuai dengan namanya “Almuwaththa” yang disepakati, karena kitab tersebut telah dimufakati oleh 70 ulama fiqih di Madinah. Imam Safi’i berkomentar: “Kitab yang paling shahih sesudah Al Qur’an, ialah “Almuwaththa”.[3]
Maliki ialah mazhab fiqh yang tertua dalam Islam sunni. Mazhab Maliki diamalkan di Utara Afrika dan sebahagian Afrika Barat. Mahzab ini mempunyai bilangan pengikut lebih kurang 25% daripada muslim.
Mazhab ini berbeda daripada tiga mazhab yang lain kerana terdapat tambahan kepada sumbernya. Selain menggunakan Al Qur’an, hadis, ijma' dan qiyas, Imam Maliki juga menggunakan amalan orang Islam Madinah pada zamannya itu sebagai sumber tambahan. Mengikuti arahan Imam Malik, merupakan juga amalan orang Madinah dilihat sebagai sunnah yang hidup seakan memandang Nabi Muhammad berhijrah, tinggal dan wafat di Madinah, dimana kebanyakan sahabat Nabi tinggal di Madinah. Kesannya, hadits yang dikaji oleh mazhab ini agak berbeda daripada mazhab yang lain.
Dasar-dasar pokok dari Mazhab Maliki yaitu berpegang pada:
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW yang dipandang sah;
3) Ijma’ Ahl Madinah (kadang menolak hadits yang berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah);
4) Qias (kias / analogi / membandingkan);
5) Istislah. (istilah fikih, yaitu pendapat bahwa sesuatu
Adalah salih karena berfaedah, bijak untuk kepentingan dan keperluan umum)
Mazhab ini banyak penganutnya di Tunisia, Tripoli, Maroko, Aljazair, Mesir Atas dan beberapa daerah Afrika.[4]
2. Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i (Abu Abdullah Muhammad ibn Idris as-Syafi’i 150 – 204 H) dilahirkan di Gazza, sebuah kampung diAsqolan, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 H, keturunan suku Quraisj. Walaupun beliau dilahirkan di Ghazza (Palestina), tetapi tumbuh dewasa kampung halamannya di Mekkah. Ayah-Ibunya datang kesana untuk suatu keperluan dan tidak lama beliau lahir disitu. Beliau menjadi anak yatim, sebab sejak kecil sebelum mereka kembali ke Mekkah ayahnya telah wafat di Ghazza. Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris dengan bergelar Abu Abdillah. Dalam urutan nasab, beliau mempunyai hubungan erat dengan nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang beliau jika dijabarkan maka sebagai berikut: Muhammad bin Idris, bin Abbas, bin Utsman, bin Syafi’i bin Saib, bin Abi Yazid, bin Hasyim, bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf, bin Qushal. Dari pihak ibu: Muhammad bin Fatimah, binti Abdullah, bin Hasan, bin Husen, bin Ali, bin Abi Thalib r.a. Gelar sebagai Imam Syafi’i diambil dari nama kakek beliau yang ke empat, yaitu Syafi’i bin Saib. Catatan penting lainnya adalah pada umur 2 tahun kembali ke Mekkah Almukarramah bersama ibunya. Ketika masih kecil belajar membaca Al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthin. Pada usia 9 tahun beliau hafal Al Qur’an 30 juz diluar kepala. Ia pandai tatabahasa, syair dan ilmu bahasa. Ia menghafalkan kitab al-Muwaththa’ dalam satu malam. Dalam usia 15 tahun diberi tugas oleh gurunya Muslim bin Khalid Azzanjiy mengajar di Masjidil Haram, memberikan fatwa, sehingga mengagumkan orang-orang yang naik Hajji pada masa itu. Pada tahun 170 H, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Maliki dengan membawa sepucuk surat dari gurunya Muslim bin Khalid yang ditujukan kepada Imam Malik bin Anas. Dalam perjalanan yang memakan waktu 8 hari 8 malam itu, Imam Syafi’i membaca Al Qur’an 16 kali khatam. Pengetahuannya tentang Al Qur’an tak terkalahkan di zamannya, secara istimewa dicurahkan tenaganya untuk mempelajari sunnah Nabi. Sebagai ulama besar dimana hasil ijtihadnya Imam Syafi’i dikenal dengan sebutan “Mazan Imam Syafi’i”. Beliau juga selama setahun tidak pernah pisah dengan Imam Malik. Beliau disamping menjadi murid juga diangkat sebagai pembantu Imam Malik[5] dan mengenal dengan baik ajaran Imam Hanafi dan Imam Malik. Ia mengembara ke Yaman, Baghdad dan menetap di Mesir, dan wafat pada hari kamis malam jum’at tanggal 29 Rajab 204 H / 820 M, dan dimakamkan di Zahro. Kitab-kitab Imam Syafi’i antara lain: a) Ar Rizalah (kitab ushul fiqih pertama), b) Al Umm merupakan kitab besar ilmu fiqih, c) Ikhtifatul Hadits, berisikan tentang perselisihan hadits-hadist Nabi SAW, dan d) Al Musnad, berisikan sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadits-hadits. Ajaran Syafi’i terutama berdasarkan Sunnah seperti ajaran Imam Malik, tetapi data-data yang digunakan jauh lebih banyak dan berasal dari berbagai tempat. Dasar-dasar mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab Usul al-Fiqh Ar-Risalah dan kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh dalam merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang).
Dasar-dasar atau asas-asas pokok mazhab Syafi’i berpegang pada:
- Al Qur’an;
- Tafsir lahiriahnya Al Qur’an selama tak ada dalil yang menegaskan bahwa yang dimaksud bukan lahiriahnya; Imam Syafi’i pertama sekali selalu mencari alasannya dari Al-Qur'an dalam menetapkan hukum Islam.
- Sunnah Nabi SAW; Sunnah dari Rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak ditemukan rujukan dari Al-Qur’an. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah Nabi).
- Ijma’ ,hukum yang tak ada dalam Al Qur’an dan Hadits, keputusan diambil alim-ulama dan atas kata sepakat (tidak diketahui ada perselisihan tentang sesuatu); Ijma’ para Sahabat Nabi, yang tak diketahui pula ada perselisihan tentang hal itu. Ijma' yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum adalah ijma' para sahabat, bukan kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
- Qias (ditolak dasar istihsan dan dasar ihtislah). Kias yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi Imam Syafi’i menolak dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.
- Istidlal, adalah suatu istilah fikih, yakni mencari atau menegakkan dalil daripada penetapan akan dan kesimpulan-kesimpulannya atau dari seseorang yang mengetahuinya, yang dipandang sebagai ushul fikh.
- Istishab (suatu istilah fikih), yaitu mencari hubungan, sambungan, berusaha menghubungkan sesuatu dengan keadaan sebelumnya. Berarti membawa serta sesuatu yang telah ada di masa lalu ke masa sekarang. Istishab merupakan salah satu pegangan dalam menetapkan hukum yang tidak mempunyai dalil yang tegas dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma maupun Qiyas. Dengan perinsip istishab manusia dapat memberlakukan suatu dalil hukum yang berlaku pada masa lampau, tanpa adanya keterangan bahwa hukum itu berlaku seterusnya. Misalnya, memberlakukan ketentuan bahwa asal hukum segala sesuatu adalah boleh, kecuali bila ada larangan yang jelas, bagi hal-hal baru yang illatnya tidak ditemukan. Salah satu dasar pokok mazhab Syafi’i. Sebagian ulama terutama dari kelompok Hanafiah tidak menerima istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum).
Imam Syafi’i, begitulah orang-orang menyebut dan mengenal nama ini, terasa begitu lekat di dalam hati, setelah nama-nama seperti Khulafaur Rasyidin. Namun orang-orang mengenal Imam Syafi’i hanya dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqih. Padahal sebenarnya beliau juga adalah tokoh dari kalangan ummat Islam dengan multi keahlian. Ketika memasuki Baghdad, beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits). Dan Imam Adz-Dzahabi menjuluki beliau dengan sebutan Nashirus Sunnah (pembela sunnah) dan salah seorang Mujaddid (pembaharu) pada abad kedua hijriyah. Muhammad bin Ali bin Shabbah Al-Baldani berkata: “Inilah wasiat Imam Syafi’i yang diberikan kepada para sahabatnya, ‘Hendaklah Anda bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Satu, yang tiada sekutu bagiNya. Dan sesungguhnya Muhammad bin Abdillah adalah hamba dan RasulNya. Kami tidak membedakan para rasul antara satu dengan yang lain. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, Tuhan semesta alam yang tiada bersekutu dengan sesuatu pun. Untuk itulah aku diperintah, dan saya termasuk golongan orang yang menyerahkan diri kepadaNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala membangkitkan orang dari kubur dan sesungguhnya Surga itu haq, Neraka itu haq, adzab Neraka itu haq, hisab itu haq dan timbangan amal serta jembatan itu haq dan benar adanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas hambaNya sesuai dengan amal perbuatannya. Di atas keyakinan ini aku hidup dan mati, dan dibangkitkan lagi Insya-Allah. Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan makhluk ciptaanNya. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari akhir nanti akan dilihat oleh orang-orang mukmin dengan mata telanjang, jelas, terang tanpa ada suatu penghalang, dan mereka mendengar firmanNya, sedangkan Dia berada di atas ‘Arsy. Sesungguhnya takdir, baik buruknya adalah berasal dari Allah Yang Maha Perkasa dan Agung. Tidak terjadi sesuatu kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dan Dia tetapkan dalam qadha’ qadarNya. Sesungguhnya sebaik-baik manusia setelah Baginda Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radhiallahu’anhum. Aku mencintai dan setia kepada mereka, dan memohonkan ampun bagi mereka, bagi pengikut perang Jamal dan Shiffin, baik yang membunuh maupun yang terbunuh, dan bagi segenap Nabi. Kami setia kepada pemimpin negara Islam (yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah) selama mereka mendirikan shalat. Tidak boleh membangkang serta memberontak mereka dengan senjata. Kekhilafahan (kepemimpinan) berada di tangan orang Quraisy. Dan sesungguhnya setiap yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya pun diharamkan. Dan nikah mut’ah adalah haram. Aku berwasiat kepadamu dengan taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, konsisten dengan sunnah dan atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tinggalkanlah bid’ah dan hawa nafsu. Bertaqwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sejauh yang engkau mampu. Ikutilah shalat Jum’at, jama’ah dan sunnah (Rasullullah Shallallahu’alaihi wasallam). Berimanlah dan pelajarilah agama ini. Siapa yang mendatangiku di waktu ajalku tiba, maka bimbinglah aku membaca “Laailahaillallah wahdahu lasyarikalahu waanna Muhammadan ‘abduhu warasuluh”.
Di antaranya yang diriwayatkan oleh Abu Tsaur dan Abu Syu’aib tentang wasiat Imam Syafi’i adalah: “Aku tidak mengkafirkan seseorang dari ahli tauhid dengan sebuah dosa, sekalipun mengerjakan dosa besar, aku serahkan mereka kepada Allah Azza Wajalla dan kepada takdir serta iradah-Nya, baik atau buruknya, dan keduanya adalah makhluk, diciptakan atas para hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang dikehendaki menjadi kafir, kafirlah dia, dan siapa yang dikehendakiNya menjadi mukmin, mukminlah dia. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ridha dengan keburukan dan kejahatan dan tidak memerintahkan atau menyukainya. Dia memerintahkan ketaatan, mencintai dan meridhainya. Orang yang baik dari ummat Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam masuk Surga bukan karena kebaikannya (tetapi karena rahmatNya). Dan orang jahat masuk Neraka bukan karena kejahatannya semata. Dia menciptakan makhluk berdasarkan keinginan dan kehendakNya, maka segala sesuatu dimudahkan bagi orang yang diperuntukkannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits. (Riwayat Al-Bukhari, Muslim dan lainnya). Aku mengakui hak pendahulu Islam yang sholeh yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai NabiNya, mengambil keutamaannya. Aku menutup mulut dari apa yang terjadi di antara mereka, pertentangan ataupun peperangan baik besar maupun kecil. Aku mendahulukan Abu Bakar, kemudian Umar kemudian Utsman kemudian Ali radhiallahu ‘anhum. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin. Aku ikat hati dan lisanku, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan, bukan makhluk yang diciptakan. Sedangkan mempermasalahkan lafazh (ucapan seseorang yang melafazhkan Al-Qur’an apakah makhluk atau bukan) adalah bid’ah, begitu pula sikap tawaqquf (diam, tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu bukan makhluk, juga tidak mau mengatakan Al-Qur’an itu makhluk”) adalah bid’ah. Iman adalah ucapan dan amalan yang mengalami pasang surut.[7]
Kesimpulan wasiat di atas yaitu bahwa aqidah Imam Syafi’i adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sumber aqidah Imam Syafi’i adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau pernah mengucapkan: sebuah ucapan seperti apapun tidak akan pasti (tidak diterima) kecuali dengan (dasar) Kitabullah atau Sunnah RasulNya. Dan setiap yang berbicara tidak berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah, maka ia adalah mengigau (membual, tidak ada artinya)[8], Waallu a’lam. Manhaj Imam Syafi’i dalam aqidah menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya, dan menolak apa yang ditolak oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Karena itu beliau menetapkan sifat istiwa’ (Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam di atas), ru’yatul mukminin lirrabbihim (orang mukmin melihat Tuhannya) dan lain sebagainya. Dalam hal sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, Imam Syafi’i mengimani makna zhahirnya lafazh tanpa takwil (meniadakan makna tersebut) apalagi ta’thil (membelokkan maknanya). Beliau berkata: “Hadits itu berdasarkan zhahirnya. Dan jika ia mengandung makna lebih dari satu, maka makna yang lebih mirip dengan zhahirnya itu yang lebih utama.” [9] Imam Syafi’i pernah ditanya tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang harus diimani, maka beliau menjawab, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang telah dikabarkan oleh kitabNya dan dijelaskan oleh NabiNya kepada ummatnya. Tidak seorang pun boleh menolaknya setelah hujjah (keterangan) sampai kepadanya karena Al-Qur’an turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat itu. Maka barangsiapa yang menolaknya setelah tegaknya hujjah, ia adalah kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah, ia adalah ma’dzur (diampuni) karena kebodohannya, sebab hal (nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala) itu tidak bisa diketahui dengan akal dan pemikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa Dia memiliki sifat “Yadaini” (dua tangan), dengan firmanNya, yang artinya: “Tetapi kedua tangan Allah terbuka” (QS: Al-Maidah: 64). Dia memiliki wajah, dengan firmanNya, yang artinya: “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajahNya” (QS: Al-Qashash: 88)”.[10]
Kata-kata “As-Sunnah” dalam ucapan dan wasiat Imam Syafi’i dimaksudkan untuk tiga arti. Pertama, adalah apa saja yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah, berarti lawan dari bid’ah. Kedua, adalah aqidah shahihah yang disebut juga tauhid (lawan dari kalam atau ra’yu). Berarti ilmu tauhid adalah bukan ilmu kalam begitu pula sebaliknya. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang mendalami ilmu kalam, maka seakan-akan ia telah menyelam ke dalam samudera ketika ombaknya sedang menggunung”.[11]
Ahlus Sunnah disebut juga oleh Imam Syafi’i dengan sebutan Ahlul Hadits. Karena itu beliau juga berwasiat: “Ikutilah Ahlul Hadits, karena mereka adalah manusia yang paling banyak benarnya.”[12] Dan “Ahli Hadits di setiap zaman adalah bagaikan sahabat Nabi.” [13]
Di antara Ahlul Hadits yang diperintahkan oleh Imam Syafi’i untuk diikuti adalah Imam Ahmad bin Hambal, murid Imam Syafi’i sendiri yang menurut Imam Nawawi: “Imam Ahmad adalah imamnya Ashhabul Hadits, imam Ahli Hadits”.[14]
Pemikiran fiqih mazhab Syafi’i ini diawali oleh Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertentangan antara aliran ahli hadits (cenderung berpegang pada teks hadits) dan ahl al-ra'y (cenderung berpegang pada akal fikiran atau ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahli hadits, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh ahl al-ra'y yang juga murid Imam Abu Hanifah.
Imam Syafii kemudian merumuskan aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak Istihsan dari Imam Abu Hanifah maupun Mashalih Mursalah dari Imam Malik. Namun demikian mazhab Syafii menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, Usul al-Fiqh, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut; dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Imam Syafi’i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama ia tinggal di sana, ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim (pendapat yang lama). Ketika kemudian Imam Syafi’i pindah ke Mesir kerena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil mempengaruhi kekhalifahan, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, atau yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid (pendapat yang baru). Imam Syafi’i berpendapat bahwa qaul jadid tidak berarti menghapus qaul qadim. Jika terdapat kondisi yang cocok baik dengan qaul qadim maupun dengan qaul jadid, maka dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian, kedua qaul tersebut sampai sekarang masih tetap dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab Syafi’i.
Penyebar-luasan pemikiran mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Hanafi dan mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan. Pokok pikiran dan prinsip dasar mazhab Syafi’i terutama disebar-luaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi’i di Mesir, yang menyebar-luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi’i pada awalnya adalah: Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846), Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 878), dan Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 884).
Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal sebagai ulama hadits terkemuka dan pendiri firqah mazhab Hanbali, juga pernah belajar kepada Imam Syafi’i. Selain itu, masih banyak ulama-ulama yang kemudian yang mengikuti dan turut menyebarkan mazhab Syafi’i, antara lain:Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa'i, Imam Baihaqi, Imam Turmudzi, Imam Ibnu Majah, Imam Tabari, Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Imam Abu Daud, Imam Nawawi, Imam As-Suyuti, Imam Ibnu Katsir, Imam Dhahabi, dan Imam Al-Hakim.
Imam Syafi’i terkenal sebagai perumus pertama metodologi hukum Islam (Usul al-Fiqh), tidak dikenal pada masa Nabi dan sahabat, melainkan ilmu ini baru lahir setelah Imam Syafi’i menulis Ar-Risalah. Mazhab Syafi’i umumnya dianggap sebagai mazhab yang paling konservatif diantara mazhab-mazhab fiqih sunni lainnya, dimana berbagai ilmu keIslaman telah berkembang berkat dorongan metodologi hukum Islam dari para pendukung mazhab ini. Karena metodologinya yang sistematis dan tingginya tingkat ketelitian yang dituntut oleh mazhab Syafi’i, terdapat banyak sekali ulama dan penguasa di dunia Islam yang menjadi pendukung setia mazhab ini. Di antara mereka bahkan ada pula yang menjadi pakar terhadap keseluruhan mazhab-mazhab Ahli Sunah Waljamaah di bidang mereka masing-masing. Saat ini, mazhab Syafi’i diperkirakan diikuti oleh 28%-35% ummat Islam sedunia, dan merupakan mazhab terbesar dalam hal jumlah pengikut.
3. Mazhab Hambali
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal bin Hilai, lahir di Baghdad tahun 164 H tumbuh dewasa di kota ini dan wafat pada usia 77 tahun di hari jum’at Rabi’ul Awwal tahun 241 H / 855 M. Setelah menderita sakit selama beberapa minggu. Dan di makamkan di Bab Harb di Kota Baghdad. Nama Hambali ia sandang dari nama datuknya, sejak kecil dikenal dengan nama Ahmad bin Hambal. Ia belajar ilmu fiqh kepada al-Syafi’I, dan mencurahkan dirinya terhadap sunnah yang menjadikan sebagai tokoh besar di zamannya. Kitab–kitab Imam Hambali antara lain: a) Tafsir Al Qur’an, b) An Nasikh wal Mansukh, c) Al Muqoddam wal Muakhkhor fil Qur-an, d) Al Manasikul Kabir, e) Al Illah, f) Al Musnad yang berisi 40.000 hadits (di Indonesia hanya dikenal Al Musnad terdiri 6 jilid, Al Waro’i dan Ash Sholah). Mazhab Hambali berdasarkan atas nash, yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang shahih, fatwa sahabat, pendapat sahabat paling dekat dengan Al Qur’an dan hadits, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah dan hadits mursal, dan yang terakhir, jika terpaksa, juga qiyas. Karena itu mazhab ini digolongkan sebagai aliran ahlu ‘l-hadits yang mendahulukan hadits walaupun dhaif daripada ra’ya. Ulama-ulama yang berjasa mengembangkan mazhab Hambali antara lain Abu ‘l-Qasim al-Karkhi (wafat tahun 881 M), Abdu ‘l-Aziz Ja’far (wafat tahun 910 M), Ibnu Qudamah (wafat tahun 1164 M), Ibnu Taymiah (wafat 20 Syawal tahun 749 H [15] / 1273 M) dan Ibnu Qayyim (wafat tahun 1296 M). Penganut mazhab ini terutama terdapat di Arab Saudi.[16]
Mazhab Hanbali adalah satu daripada empat mazhab fiqih terkenal dalam aliran ahli sunnah wal jamaah Mazhab ini juga mendapat pengikut dari aliran Wahabi dan Salafi tetapi posisi ini tidak diakui oleh sarjana Islam. Aliran Salafi merujuk mazhab Hanbali sebagai mazhab Athari. Mazhab Hambali ini kebanyakan diamalkan oleh masyarakat Islam di Semenanjung Arab.
Dasar-dasar pokok mazhab Hambali berpegang pada:
1) Al Qur’an;
2) Hadits Marfu’;
3) Fatwa-fatwa para sahabat dan fatwa-fatwa sahabat yang lebih dekat pada Qur’an dan Sunnah, diantara fatwa-fatwa yang berlawanan;
4) Hadits Mursal dan hadits Da’if, ialah hadits yang derajatnya kurang daripada sahih;
5) Qias (kias / analogi / membandingkan).
Mazhab ini banyak dianut penduduk Arabia Tengah, di Saudi Arabia (terutama kaum Wahabi dan tokoh lainnya adalah Ibnu Taymiiah[17] yang kemudian dijadikan sumber doktrin dalam memberantas tradisi pengagungan (ziarah) kubur para Wali dan orang muslim), juga dipedalaman Oman dan beberapa tempat disepanjang Teluk Parsi dan beberapa kota Asia Tengah.[18] Kini mulai berkembang di Malaysia dan Asia tenggara.
4. Mazhab Hanafi (699-767)
Aliran fikih Islam yang dinisbahkan kepada Ahmad Ibn Hambal: Abu Abdillah. Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Thabit al-Taymi (80-150 H). Ia keturunan Parsi, dilahirkan di Basra tahun 699 M dan berusia 70 tahun dan wafat pada bulan Rajab tahun 150 H, di Kuffah (Bagdad).[19] Menurut versi Qodi’Iyad Ia wafat 350 H[20]. Makamnya ada di Al Khoizaron, Baghdad. Nama sebenarnya Nu’man putra dari Tsabit bin Zautho bin Mah, keturunan bangsa Ajam. Kata ‘hanif’ dalam bahasa Arab berarti cenderung kepada agama yang benar. Riwayat yang lain mengatakan beliau erat dengan tinta guna mencatat ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Ayahnya keturunan Persia yang berasal dari Afganistan. Abu Hanifah pernah berguru kepada Atha bin Abi Rabah, Imam Muhammad bin Abu Sulayman, Imam Nafi’ Mawla Ibnu Umar dan Imam Muhammad al-Baqir. Hanifah termasuk tabi’in sebab ia masih sempat berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi Muhammad misalnya Abi Awfa, Watsilah bin al-Aqsa, Ma’qil bin Yasar, Abullah bin Anis dan Abu Tufayl. Selain sebagai ulama dan Imam Mazhab, Hanifah juga wiraswastawan yang berhasil namun hidupnya sangat wara’ dan zuhud serta pemurah. Hubungannya dengan penguasa tidak begitu baik, karena selalu menolak tawaran khalifah untuk menjadi Hakim Agung, bahkan Ia sempat dipenjara dan dihukum dera setiap hari selama 15 hari. Karena tidak berhasil membujuk Hanifah memangku jabatan Hakim Agung, Khalifah al-Mansyur murka dan memanggilnya menghadap, di Istana Abu Hanifah disugihi racun lalu dikembalikan ke penjara dan meninggal di penjara.[21] Beberapa karya tulisnya yang memuat pendapatnya yang disusun para muridnya antara lain: al-Madsuth, al- jami’u ‘l-kabir, Al-Sayru ‘l-Shaghir, al-‘l-Kabir, dan al-Ziyadah. Abu Hanifah dijuluki sebagai Bapak Ilmu Fiqih.[22] Mazhab Hanafi dikembangkan berdasarkan Al Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa para sahabat, qiyas, istihsan, adat dan ‘uruf masyarakat. Sikap Abu Hanifah terhadap hadits sangat hati-hati dan selektif. Ia lebih banyak menggunakan qiyas dan juga istihsan. Hal ini ada hubungannya dengan daerah pertumbuhan mazhab ini yang jauh dari Madinah dan Mekah, tempat tinggal kebanyakan sahabat Nabi. Karena itu mazhab Hanafi seringkali disebut sebagai aliran ahlu ‘l-rayu yang lebih mengutamakan rasio. Perkembangan mazhab Hanafi cukup luas karena peranan murid-murid Abu Hanifah, seperti Abu Yusuf (wafat tahun 731 M) yang pernah menjadi Hakim agung di Baghdad, Muhammad bin Hasan (wafat tahun 738 M) dan Zufar (wafat tahun 707 M). Ada ulama penganud mazhab ini yang membagi fiqih Abu Hanifah menjadi 3 tingkatan: 1) tingkatan pertama (masa-ilul ushul) kitabnya berjudul Dhohiru Riwayah, berisi kupasan dan ketetapan masalah agama oleh Imam Hanafi bercampur buah pikiran para sahabat Imam Hanafi yaitu Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan dan lainnya; 2) tingkatan kedua (masa-ilun Nawadir) tentang masalah-masalah agama, diriwayatkan oleh Imam Hanafi dan para sahabatnya, kitabnya Haruniyyar, Jurjaniyyat dan Kaisaniyyat (Muhammad bin Hasan), serta Al Mujarrod (Hasan bin Iyad); 3) tingkatan ketiga (Al Fatawa wal Waqi’at) berisikan masalah-masalah agama dari para ulama mujtahid mazhab Hanafi yang datang kemudian, karena keterangannya tidak mereka dapat pada pendahulunya, seperti kitab Al Fatawa wal Waqi’at pertama yaitu An Nawasil (Abdul Laits As Samarqondy, wafat 375 H).
Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam sunni. Suatu mazhab yang dikenal sebagai mazhab paling terbuka kepada idea modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam sunni Mesir, Turki, sub-benua India dan sebahagian Afrika Barat, walaupun pelajar Islam seluruh dunia belajar dan melihat pendapatnya mengenai amalan Islam. Mazhab Hanafi merupakan mazhab yang dianut dengan sekitar 30% pengikut. Kehadiran mazhab ini tidak boleh dilihat sebagai perbedaan mutlak seperti dalam Kristian (Prostestan dan Katolik) dan beberapa agama lain. Sebaliknya ini merupakan perbedaan yang sehat melalui pendapat yang logis dan idea dalam memahami Islam. Perkara pokok seperti akidah atau tauhid masih sama dan tidak berubah.
Dasar–dasar pokok dari mazhab Hanafi berpegang pada :
1) Al Qur’an;
2) Sunnah Rasul SAW beserta peninggalan-peninggalan
sahih yang telah masyhur di antara para ulama;
3) Fatwa-fatwa para sahabat;
4) Qias;
5) Istihsan; Secara bahasa istihsan berarti menganggap
baik sesuatu (hasan), adalah salah satu cara menetapkan hukum di kalangan ahli ushul fikih. Melalui metode istihsan, seorang mujtahid meninggalkan hukum yang didasarkan atas qias jali (analogi yang jelas persamaan illatnya) ke hubungan baru yang berdasarkan atas qias khafi (persamaan illatnya tersamar) atau dari hukum yang didasarkan pada dalil kulli (alasan yang bersifat umum) ke hukum yang didasarkan atas dalil juz’i (alasan yang bersifat khusus). Salah satu contoh mengqiaskan wakaf kepada sewa-menyewa dan tidak kepada jual-beli, karena lebih mengutamakan segi kemanfaatannya daripada segi perpindahan hak milik. Perpindahan hukum itu lebih tepat. Metode istihsan ini lebih banyak digunakan dikalangan ulama Hanafiyah sebagai salah satu dasar pokok mazhab Hanafi dan ditolak keras dikalangan ulama Syafi’iyah.
6) Adat beserta ‘uruf umat.
Penganut mazhab Hanafi terdapat banyak di anak daerah India, Turki, Afganistan, Kawasan Balkan, China dan Rusia.[23] Disamping Turki dan India, juga Turkestan, Propinsi-propinsi Buchara dan Samarkand.[24] Juga di Asia Tenggara mendapat beberapa pengikut.
sumber :
[1] Prof.Dr. KH. Said Agil Siraj, Republika: 26-03-2007
[2] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW Keistimewaan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 812
[3] Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal .110-111
[4] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 657-658
[5] Abdul Ghoni A, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, CV. Bintang Pelajar, 1986, hal.109-111
[6] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal.1023
[7] Al-Amru bil Ittiba’, As-Suyuthi, hal 152-154, tahqiq Mustofa Asyur; Ijtima’ul Juyusyil Islamiyah, Ibnul Qayyim hal 165.
[8] Manaqibusy Syafi’i, hal 1 -470 & 475.
[9] Al-Mizanul Kubra, hal 1 - 60; Ijtima’ul Juyusy, hal 95.
[10] Manaqib Asy-Syafi’i, Baihaqi hal 1-412, 413; Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, Al- Lalikai, hal 2 - 702; Siyar A’lam An-Nubala’, hal 10 – 79, 80; Ijtima’ Al-Juyusy Al- Islamiyah, Ibnul Qayyim, hal 94.
[11] Al-Mizanul Kubra, Asy-Sya’rani, hal 1-60, As-Sunnah dimaksudkan sebagai sinonim dari hadits yaitu apa yang datang dari Rasulullah selain Al-Qur’an.
[12] Al-Adab Asy-Syar’iyah, Ibnu Muflih, hal 1-231.
[13] Al-Mizanul Kubra, hal 1- 60.
[14] Al-Majmu’, Syarhul Muhazzab; Siar A’lam, hal 5, 6-10; Tadzkiratul Huffazh, hal 1 - 361;
[15] Muhammad Abu Zahrah, IbnuTaimiyah, Hayatuhu wa ‘Ashuruhu, Dar al-Fikr – Al-’Araby, 1946
[16] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal. 327
[17] Budi Munawar, Rachman, Argumen Pengalaman Iman Neo-Sufisme Nurcholish Madjid, dalam Tsaqafah, Vol.1, no.1, 2002, hal 56
[18] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 393 -394
[19] Ensiklopedi Umum, Ibid, hal.. 479
[20] Qodi’Iyad Ibn Musa Al Yahsudi, Keagungan Kekasih Allah Muhammad SAW : Keistime- waan Personal Keteladanan Bersalah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 , Hal. 786
[21] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal. 328
[22] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, Ibid, hal 328
[23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6, PT.Delta Pamungkas, Jakarta, 2004,hal. 326-327
[24] Ensiklopedi Umum, Kanisius, Yogyakarta, 1973, hal. 395