Melihat Masa Lalu Sang Jendral SOEHARTO Lewat Tiga Biografi
Otto Gustav Roeder, yang dalam banyak buku memakai nama O.G. Roeder, adalah seorang wartawan Jerman yang sering meliput di Indonesia. Nama belakangnya mirip bekas intel SS NAZI Jerman yang dijadikan intel asing di Indonesia, Rudolf Obsger-Roeder.
O.G. Roeder dikenal lewat bukunya tentang Soeharto, The Smiling General: President Soeharto of Indonesia (1969). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto dan berkali-kali dicetak ulang, setidaknya sampai 1976.
O.G. Roeder dikenal lewat bukunya tentang Soeharto, The Smiling General: President Soeharto of Indonesia (1969). Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto dan berkali-kali dicetak ulang, setidaknya sampai 1976.
Menurut Willem Oltmans dalam Bung Karno Sahabatku (2015), “baik dalam The Smiling General yang dipublikasikan 1969 maupun dalam autobiografinya (Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya) dari tahun 1989, membuka secara terang-terangan sikapnya (Soeharto) yang merendahkan terhadap Soekarno” (hlm. 221). Bagi Oltmans, apa yang ditulis Roeder adalah suruhan Soeharto.
Roeder bukan satu-satunya orang yang pernah menulis biografi Soeharto. Setelah Roeder, setidaknya ada Robert Edward Elson—seorang sejarawan dan akademisi yang banyak menulis tentang Indonesia. Karya Elson tentang Soeharto adalah Soeharto A Political Biography (2001), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005). Buku ini adalah buku sejarah akademis.
Asvi Warman Adam, dalam kata pengantar untuk terjemahan bahasa Indonesia buku itu, menyebut kekurangan karya Elson. “Niat penulis adalah memahami tindakan sang pelaku sejarah, namun kesan yang timbul adalah penonjolan kepahlawanan Soeharto.”
Tak lupa, Elson dituduh “doyan menyitir buku versi penguasa seperti yang disusun Abdul Gafur, Anton Tabah, Roeder, Nazaruddin Sjamsudin.” Soal kejiwaan Soeharto, menurut Asvi, hasil penelitian Bagus Takwin, Niniek L. Karim, dan Hamdi Muluk dalam buku Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil Yang Liat (2001) tidak disinggung.
Selain dua penulis asing itu, ada Retnowati Abdulgani-Knapp, putri bekas Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani. Perempuan yang pernah jadi bankir di New York ini adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Retnowati terbilang dekat dengan Soeharto.
Ia menulis Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President—yang edisi Indonesianya berjudul Soeharto: Kehidupan dan Warisan Peninggalan Presiden Indonesia Kedua. Keduanya dirilis pada 2007, ketika Soeharto masih hidup. Di halaman persembahan ditulis: “Untuk mengenang dengan penuh cinta: orangtuaku, Sihwati Nawangwulan dan Roeslan Abdulgani dan Siti Hartinah Soeharto.”
Dalam buku tersebut, Retnowati menulis, “saya bertemu Pak Harto untuk pertama kalinya ketika beliau masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia kedua, beberapa hari sebelum pesta pernikahan saya.” Selain itu, Retnowati pun mengaku telah mendapat restu dan akses dari Soeharto.
Roeder bukan satu-satunya orang yang pernah menulis biografi Soeharto. Setelah Roeder, setidaknya ada Robert Edward Elson—seorang sejarawan dan akademisi yang banyak menulis tentang Indonesia. Karya Elson tentang Soeharto adalah Soeharto A Political Biography (2001), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005). Buku ini adalah buku sejarah akademis.
Asvi Warman Adam, dalam kata pengantar untuk terjemahan bahasa Indonesia buku itu, menyebut kekurangan karya Elson. “Niat penulis adalah memahami tindakan sang pelaku sejarah, namun kesan yang timbul adalah penonjolan kepahlawanan Soeharto.”
Tak lupa, Elson dituduh “doyan menyitir buku versi penguasa seperti yang disusun Abdul Gafur, Anton Tabah, Roeder, Nazaruddin Sjamsudin.” Soal kejiwaan Soeharto, menurut Asvi, hasil penelitian Bagus Takwin, Niniek L. Karim, dan Hamdi Muluk dalam buku Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil Yang Liat (2001) tidak disinggung.
Selain dua penulis asing itu, ada Retnowati Abdulgani-Knapp, putri bekas Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani. Perempuan yang pernah jadi bankir di New York ini adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Retnowati terbilang dekat dengan Soeharto.
Ia menulis Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President—yang edisi Indonesianya berjudul Soeharto: Kehidupan dan Warisan Peninggalan Presiden Indonesia Kedua. Keduanya dirilis pada 2007, ketika Soeharto masih hidup. Di halaman persembahan ditulis: “Untuk mengenang dengan penuh cinta: orangtuaku, Sihwati Nawangwulan dan Roeslan Abdulgani dan Siti Hartinah Soeharto.”
Dalam buku tersebut, Retnowati menulis, “saya bertemu Pak Harto untuk pertama kalinya ketika beliau masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia kedua, beberapa hari sebelum pesta pernikahan saya.” Selain itu, Retnowati pun mengaku telah mendapat restu dan akses dari Soeharto.
Soeharto Cuma Lulusan SD?
Para penulis sejarah hidup Soeharto kebanyakan menggambarkan diktator Orde Baru itu pernah sekolah hingga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Roeder menyebut, Soeharto masuk ke sekolah lanjutan bernama Vakschool setelah lulus sekolah dasar 4 tahun. Diungkapkan pula, “Soeharto kembali ke kampung asalnya di Kemusuk. Dari sana, setiap hari dia bersepeda ke Yogyakarta untuk menyelesaikan pelajarannya di sekolah menengah Muhammadiyah” (hlm. 164-166).
Sementara Retnowati menyatakan, setelah sekolah dasar lima tahun, “Soeharto meneruskan pelajarannya di Schakel School, sebuah sekolah menengah pertama di Wonogiri.” Disebutkan pula bahwa Soeharto menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta (hlm. 11-12).
Soal sekolah, Elson mengungkapkan, “di tahun 1931, [Soeharto] memasuki tahun pertama di sekolah menengah pertama (Schakel School) di Wonogiri.” Disebut pula, Soeharto pernah belajar di sekolah Muhammadiyah, tapi tidak menjelaskan secara rinci jenjang sekolah yang dimaksud. Yang jelas, kata Elson, Soeharto menyelesaikan sekolah pada usia 17.
Dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (1989), Soeharto mengaku menamatkan Schakel Muhammadiyah. Setelahnya, dia tidak bisa bersekolah lagi karena terhalang biaya (hlm. 16).
Ramadhan K.H. tidak menyebut Schakel School sebagai sekolah setingkat SMP. Dia pernah sekolah di HIS zaman kolonial, sehingga pasti mengetahui apa itu Schakel School. Sementara para penulis biografi yang lain tidak mengalami sekolah di era kolonial.
Ketiga penulis biografi Soeharto seolah-olah menggolongkan Schakel School dan Vakschool sebagai SMP. Vakschool adalah sekolah tukang dan Schakel School adalah sekolah lanjutan atau sambungan. Menurut catatan Nurcholis Madjid dalam Indonesia Kita (2004), Schakel School adalah “sekolah peralihan dari lulusan sekolah rakyat untuk dapat meningkat ke sekolah yang ada di atasnya” (hlm. 30).
Mereka yang masuk Schakel School biasanya lulusan sekolah dasar tiga tahun macam Volkschool, yang kadang disebut sekolah desa. Lama pendidikan Schakel School lima tahun. Lulusan Schakel School disetarakan dengan lulusan sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS).
Sekolah zaman kolonial yang bisa disamakan dengan SMP masa kini adalah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan di atasnya ada Algemene Middelbare School (AMS) yang disamakan dengan SMA. Di masa kolonial ada juga SMP dan SMA yang masa pendidikannya cuma lima tahun, yakni Hogere Burger School (HBS).
Intinya, Schakel School adalah sekolah lanjutan bagi yang ingin punya ijazah setingkat SD dan bukan sekolah setara SMP. Muhammadiyah termasuk organisasi yang punya sekolah macam Schakel School. Jadi, jika pendidikan terakhir Soeharto adalah Schakel School, maka ia adalah lulusan SD saja. Ketiga biografi tersebut keliru menerangkan tingkat pendidikan Soeharto.
Sementara Retnowati menyatakan, setelah sekolah dasar lima tahun, “Soeharto meneruskan pelajarannya di Schakel School, sebuah sekolah menengah pertama di Wonogiri.” Disebutkan pula bahwa Soeharto menyelesaikan pendidikan di Yogyakarta (hlm. 11-12).
Soal sekolah, Elson mengungkapkan, “di tahun 1931, [Soeharto] memasuki tahun pertama di sekolah menengah pertama (Schakel School) di Wonogiri.” Disebut pula, Soeharto pernah belajar di sekolah Muhammadiyah, tapi tidak menjelaskan secara rinci jenjang sekolah yang dimaksud. Yang jelas, kata Elson, Soeharto menyelesaikan sekolah pada usia 17.
Dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya: Otobiografi seperti dipaparkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. (1989), Soeharto mengaku menamatkan Schakel Muhammadiyah. Setelahnya, dia tidak bisa bersekolah lagi karena terhalang biaya (hlm. 16).
Ramadhan K.H. tidak menyebut Schakel School sebagai sekolah setingkat SMP. Dia pernah sekolah di HIS zaman kolonial, sehingga pasti mengetahui apa itu Schakel School. Sementara para penulis biografi yang lain tidak mengalami sekolah di era kolonial.
Ketiga penulis biografi Soeharto seolah-olah menggolongkan Schakel School dan Vakschool sebagai SMP. Vakschool adalah sekolah tukang dan Schakel School adalah sekolah lanjutan atau sambungan. Menurut catatan Nurcholis Madjid dalam Indonesia Kita (2004), Schakel School adalah “sekolah peralihan dari lulusan sekolah rakyat untuk dapat meningkat ke sekolah yang ada di atasnya” (hlm. 30).
Mereka yang masuk Schakel School biasanya lulusan sekolah dasar tiga tahun macam Volkschool, yang kadang disebut sekolah desa. Lama pendidikan Schakel School lima tahun. Lulusan Schakel School disetarakan dengan lulusan sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS).
Sekolah zaman kolonial yang bisa disamakan dengan SMP masa kini adalah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan di atasnya ada Algemene Middelbare School (AMS) yang disamakan dengan SMA. Di masa kolonial ada juga SMP dan SMA yang masa pendidikannya cuma lima tahun, yakni Hogere Burger School (HBS).
Intinya, Schakel School adalah sekolah lanjutan bagi yang ingin punya ijazah setingkat SD dan bukan sekolah setara SMP. Muhammadiyah termasuk organisasi yang punya sekolah macam Schakel School. Jadi, jika pendidikan terakhir Soeharto adalah Schakel School, maka ia adalah lulusan SD saja. Ketiga biografi tersebut keliru menerangkan tingkat pendidikan Soeharto.
Masa Awal sebagai Serdadu
O.G. Roeder mencatat hal menarik soal bergabungnya Soeharto dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). "Pada tanggal 8 Oktober 1943, Soeharto diangkat menjadi Shodancho (komandan peleton) dan dikirim ke Kompi PETA yang berada di Wates, tidak jauh dari Yogyakarta," tulisnya (hlm. 174).
Sebelum menjadi komandan dan dikirim ke Wates, Soeharto dilatih berbulan-bulan di Bogor. PETA terbentuk berdasar Osamu Seirei nomor 44 tanggal 3 Oktober 1943.
Soal bergabungnya Soeharto ke PETA, Retnowati mencatat, Soeharto dibujuk atasannya ketika masih menjadi polisi di Yogyakarta. “Sekali lagi ia lulus tes dan dilatih menjadi Shodancho (komandan peleton) selama empat bulan,” tulis Retnowati (hlm. 14). Catatan Retnowati soal latihan 4 bulan yang dialami Soeharto mirip dengan yang tertulis dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (hlm. 23).
Jika Elson sedikit menjelaskan kasus penyelundupan dan korupsi yang dilakukan Soeharto ketika menjadi Panglima di Jawa Tengah, maka Roeder tidak menjelaskannya. Roeder hanya bicara soal betapa antipatinya Soeharto pada komunisme sebelum menyinggung masuknya Soeharto ke Seskoad. Sekonyong-konyong, Roeder menulis, “panglima divisi itu meninggalkan Semarang di tahun 1959 waktu ia diperintahkan mengikuti Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat” (hlm. 219-220).
Soal itu, Retnowati (2007:31) menulis, “Soeharto disebut-sebut sebagai orang yang memberlakukan praktek-praktek korup.” Soeharto juga sering meminta sumbangan tunai dari para pengusaha.
Elson juga tak menjelaskan secara rinci bisnis apa yang sebetulnya dilakoni Soeharto hingga markas besar tentara mengirimkan tim pemeriksa. Gara-gara perilaku koruptif itu, Soeharto dicopot lalu disekolahkan ke Seskoad.
Sebelum menjadi komandan dan dikirim ke Wates, Soeharto dilatih berbulan-bulan di Bogor. PETA terbentuk berdasar Osamu Seirei nomor 44 tanggal 3 Oktober 1943.
Soal bergabungnya Soeharto ke PETA, Retnowati mencatat, Soeharto dibujuk atasannya ketika masih menjadi polisi di Yogyakarta. “Sekali lagi ia lulus tes dan dilatih menjadi Shodancho (komandan peleton) selama empat bulan,” tulis Retnowati (hlm. 14). Catatan Retnowati soal latihan 4 bulan yang dialami Soeharto mirip dengan yang tertulis dalam Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (hlm. 23).
Jika Elson sedikit menjelaskan kasus penyelundupan dan korupsi yang dilakukan Soeharto ketika menjadi Panglima di Jawa Tengah, maka Roeder tidak menjelaskannya. Roeder hanya bicara soal betapa antipatinya Soeharto pada komunisme sebelum menyinggung masuknya Soeharto ke Seskoad. Sekonyong-konyong, Roeder menulis, “panglima divisi itu meninggalkan Semarang di tahun 1959 waktu ia diperintahkan mengikuti Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat” (hlm. 219-220).
Soal itu, Retnowati (2007:31) menulis, “Soeharto disebut-sebut sebagai orang yang memberlakukan praktek-praktek korup.” Soeharto juga sering meminta sumbangan tunai dari para pengusaha.
Elson juga tak menjelaskan secara rinci bisnis apa yang sebetulnya dilakoni Soeharto hingga markas besar tentara mengirimkan tim pemeriksa. Gara-gara perilaku koruptif itu, Soeharto dicopot lalu disekolahkan ke Seskoad.
Hubungan dengan Pelaku G30S
Mengenai hubungan Soeharto dengan pelaku G30S, seperti Letnan Kolonel Untung dan lainnya, Roeder hanya menyinggung soal peristiwa G30S saja. Ia tidak membahas hubungan Untung dengan Soeharto di masa lalu. Sementara Elson dan Retnowati menyinggung soal Untung.
Dalam autobiografinya dan biografi yang ditulis Elson, disebut bahwa Untung adalah komandan kompi di Batalyon 444 di Solo, di mana Soeharto pernah jadi atasannya. Soal Untung, Retnowati menulis, “Ia adalah seorang penerjun payung selama konflik Irian Barat di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto” (hlm. 42).
Terkait kudeta merangkak yang sering dituduhkan kepada Soeharto, Retnowati seakan-akan membela. “Apabila Jenderal Soeharto berniat mengambil kekuasaan Presiden Soekarno, tidak mungkin ia menunggu sampai begitu lama,” tulisnya (hlm. 73). Lepas dari benar atau tidaknya kudeta merangkak Soeharto, fakta membuktikan bahwa Soeharto adalah orang yang sabar dan tidak terburu-buru.
Pendapat Retnowati bahwa “sebagai Panglima militer yang berpengaruh ia [Soeharto] dapat dengan mudah bergabung dengan pemberontak seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesa (DI/TII)” barangkali ada benarnya. Sangat mudah bagi siapa saja untuk bergabung dengan DI/TII atau pemberontak lainnya.
Tapi Soeharto memang tidak perlu melakukannya. Lagi pula, sebagian besar pemberontakan di tahun 1950-an nyaris tak punya masa depan. Hidup gerilya bersama pemberontak juga bukan hal yang enak, apalagi Soeharto punya istri dan anak. Kehidupan sebagai perwira menengah di TNI jauh lebih baik daripada jadi jenderal pemberontak.
Meski kariernya sempat mengalami kesuraman pada akhir 1950-an (ia pernah berniat untuk keluar dari ketentaraan dan menjadi supir taksi saking frustrasinya), toh Soeharto berhasil menjadi Panglima Kostrad. Setelah G30S meletus dan diserahi Supersemar pada 1966, Soeharto bahkan menjadi orang paling berkuasa di Republik Indonesia, hingga 32 tahun kemudian.
Dalam autobiografinya dan biografi yang ditulis Elson, disebut bahwa Untung adalah komandan kompi di Batalyon 444 di Solo, di mana Soeharto pernah jadi atasannya. Soal Untung, Retnowati menulis, “Ia adalah seorang penerjun payung selama konflik Irian Barat di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto” (hlm. 42).
Terkait kudeta merangkak yang sering dituduhkan kepada Soeharto, Retnowati seakan-akan membela. “Apabila Jenderal Soeharto berniat mengambil kekuasaan Presiden Soekarno, tidak mungkin ia menunggu sampai begitu lama,” tulisnya (hlm. 73). Lepas dari benar atau tidaknya kudeta merangkak Soeharto, fakta membuktikan bahwa Soeharto adalah orang yang sabar dan tidak terburu-buru.
Pendapat Retnowati bahwa “sebagai Panglima militer yang berpengaruh ia [Soeharto] dapat dengan mudah bergabung dengan pemberontak seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesa (DI/TII)” barangkali ada benarnya. Sangat mudah bagi siapa saja untuk bergabung dengan DI/TII atau pemberontak lainnya.
Tapi Soeharto memang tidak perlu melakukannya. Lagi pula, sebagian besar pemberontakan di tahun 1950-an nyaris tak punya masa depan. Hidup gerilya bersama pemberontak juga bukan hal yang enak, apalagi Soeharto punya istri dan anak. Kehidupan sebagai perwira menengah di TNI jauh lebih baik daripada jadi jenderal pemberontak.
Meski kariernya sempat mengalami kesuraman pada akhir 1950-an (ia pernah berniat untuk keluar dari ketentaraan dan menjadi supir taksi saking frustrasinya), toh Soeharto berhasil menjadi Panglima Kostrad. Setelah G30S meletus dan diserahi Supersemar pada 1966, Soeharto bahkan menjadi orang paling berkuasa di Republik Indonesia, hingga 32 tahun kemudian.
sumber :
Setidaknya ada tiga biografi Soeharto yang sering dirujuk: karya O.G. Roeder, R.E. Elson, dan Retnowati Abdulgani-Knapp.