Makalah Teori Belajar Kognitif ; Pengertian, Tokoh, dan Implikasi Teori belajar Kognitif dalam pendidikan


Makalah teori Belajar Kognitif




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Teori-teori belajar bermunculan seiring dengan perkembangan teori psikologi. Salah satu diantara teori belajar yang terkenal adalah teori belajar behaviorisme dengan tokohnya B.F. Skinner, Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan dapat diukur.
Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa kelemahan, yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Dikatakan bahwa, teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot, padahal setiap manusia memiliki kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai kelemahan teori behaviorisme.
Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam teori behaviorisme dapat diambil suatu pertanyaan, “Upaya apa yang akan dilakukan oleh para ahli psikologi pendidikan dalam mengatasi kelemahan teori tersebut ?’’Realitas ini sangat penting untuk dibahas dalam makalah ini.
Untuk itu pembahasan makalah ini diangkat untuk mengungkap masalah-masalah tersebut. Berdasarkan tulisan-tulisan dalam berbagai literatur, ditemukan bahwa para ahli telah menemukan teori baru tentang belajar yaitu teori belajar kognitif yang lebih mampu meyakinkan dan menyumbangkan pemikiran besar demi perkembangan dan kemajuan proses belajar sebagai lanjutan dari teori behaviorisme tersebut.



1.2 Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini tidak lari dari sub pembahasan ada baiknya pemakalah rumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain :
ü Pengertian teori belajar Kognitif
ü Tokoh-tokoh (pemikir) dalam teori belajar Kognitif
ü Implikasi teori belajar Kognitif dalam pendidikan


1.3 Tujuan Penulisan
ü Mahasiswa mampu menjelaskan serta menjabarkan pengertian teori belajar Kognitif.
ü Mahasiswa mampu mengetahui tokoh-tokoh teori belajar Kognitif beserta contoh-contoh pemikirannya.
ü Mahasiswa mampu mengetahui serta implikasikan teori belajar kognitif dalam proses belajar mengajar.


BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Teori Belajar Kognitif
Secara bahasa Kognitif berasal dari bahasa latin ”Cogitare” artinya berfikir.[1] Dalam pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan, membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Sedangkan secara istilah dalam pendidikan Kognitif adalah salah satu teori diantara teori-teori belajar dimana belajar adalah pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan, dan perubahan tingkah laku, sangat dipengaruhi oleh proses belajar berfikir internal yang terjadi selama proses belajar.[2]
Teori belajar ini hadir dan muncul disebabkan para Ahli Psikologi belum puas dengan penjelasan yang teori-teori yang terdahulu. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang selalu di dasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan mengetahui atau perbuatan pikiran terhadap situasi dimana tingkah laku itu terjadi.[3] Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas. Objek-objek yang di amatinya dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambing yang merupakan sesuatu yang bersifat mental. Misalnya, seseorang menceritakan hasil perjalanannya berupa pengalaman kepada temannya. Ketika dia menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat mennghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat.[4]
Dari keterangan dan penjelasan di atas dapat pemakalah simpulkan bahwa Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu ; pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation). Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembang kan kemampuan rasional (akal).


2.2 Teori Belajar Koqnitif menurut Jean Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetika, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis, yaitu perkembangan system syaraf. Dengan bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya akan semakin meningkat.[5] Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya, Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi kemampuan belajar individu.[6]
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.
Proses belajar haruslah di sesuaikan dengan perkembagan syaraf seorang anak, dengan bertambahnya umur maka susunan saraf seorang akan semakin kompleks dan memungkinkan kemampuannya semakin meningkat. Karena itu proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarki, yaitu melalui tahap-tahap tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari sesuatu yang diluar kemampuan kognitifnya.[7] Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget yaitu :
· Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
· Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
· Fungsi, Adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.[8]
Menurut Pieget, proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi dan equilibrasi.
· Asimilasi, adalah proses penyatuan informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa.
· Akomodasi, adalah proses penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi baru.
· Equilibrasi, adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.[9]
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.[10]
Menurut Piaget aspek perkembangan kognitif meliputi empat tahap,[11] yaitu:
· Sensory-motor (sensori-motor)
Selama perkembangan dalam periode ini berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, intelegensi yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan tidak penting, intelegensi sensori-motor sesungguhnya merupakan intelegensi dasar yang amat berarti karena ia menjadi pondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang akan dimiliki anak tersebut kelak.
· Pre operational (praoperasional)
Perkembangan ini bermula pada saat anak berumur 2-7 tahun dan telah memiliki penguasaan sempurna mengenai objek permanence, artinya anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda yang ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi, padangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dari pandangan pada periode sensori-motor, yakni tidak lagi bergantung pada pengamatan belaka.
· Concrete operational (konkret-operasional)
Dalam periode konkret operasional ini belangsung hingga usia menjelang remaja, kemudian anak mulai memperoleh tamnbahan kemampuan yang disebut sistem of operations (satuan langkah berfikir). Kemampuan ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu dalam sistem pemikirannya sendiri.
· Formal operational (formal-operasional)
Dalam perkembngan formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja, yakni usia 11-15 tahun, akan dapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran. Dalam pperkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam kemampuan kognitif, yakni:
o kapasitas menggunakan hipotesis
o kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Dalam dua macam kemampuan kognitif yang sangat berpengaruh terhadap kualiatas skema kognitif itu tentu telah dimiliki oleh orang-orang dewasa. Oleh karenanya, seorang remaja pelajar yang telah berhasil menempuh proses perkembangan formal operasional secara kognitif dapat dianggap telah mulai dewasa.[12]


2.2.1 Implikasi Teori Pieget untuk Pendidikan
Para pendidik memandang bahwa teori Pieget itucdapat dipakai sebagai dasar pertimbangan guru di dalam menyusun struktur dan urutan mata pelajaran di dalam kurikulum. Hunt mempraktekkan di dalam program pendidikan TK yang menekankan pada perkembangan sensori motoris dan proeperasional.[13] Misal belajar menggambar, mengenal benda, dan menghitung.
Seorang guru yang tidak memperhatikan tahapan-tahapan perkembangan kognitif anak ini akan cenderung menyulitkan siswa. Contoh, mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Shalat kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk mengkongkretkan konsep-konsepp tersebut, tidak hanya sia-sia, tetapi justru akan lebih membingungkan siswa.[14]
Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Dalam Pembelajaran, adalah :
· Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
· Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
· Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.[15]


Teori belajar Piaget dalam aplikasi praktisnya mementingkan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, karena hanya dengan melibatkan atau mengaktifkan siswa, maka proses asimilasi dan akoomodasi pengetahuan dapat terjadi dengan baik. Secara umum pengaplikasian teori piaget dalam kegiatan pembelajaran biasanya mengikuti pola berikut :
a. Menentukan tujuan-tujuann instruksional
b. Memilih amteri pelajaran
c. Menentukan topic-topik yang mungkin dipelajari secara aktif oleh siswa (dengan bimbingan minimum dari guru).
d. Menentukan dan merancang kegiatan belajar yang cocok untuk topic-topik yang akan dipelajari siswa.
e. Mempersiapkan berbagai pertanyaan yang dapat memacu kreativitas siswa untuk berdiskusi atau bertanya.
f. Mengevaluasi proses dan hasil belajar.[16]


2.2.2 Kritik terhadap teori Pieget
Kebanyakan ahli psikologi sepenuhnya menerima prinsip-prinsip umum Piaget bahwa pemikiran anak-anak pada dasarnya berbeda dengan pemikiran orang dewasa, dan jenis logika anak-anak itu berubah seiring dengan bertambahnya usia. Namun, ada juga peneliti yang meributkan detail-detail penemuan Piaget, terutama mengenai usia ketika anak mampu menyelesaikan tugas-tugas spesifik.
Pada sebuah studi klasik, McGarrigle dan Donalson (1974) menyatakan bahwa anak sudah mampu memahami konservasi (conservation) dalam usia yang lebih muda daripada usia yang diyakini oleh Piaget. Studi lain yang mengkritik teori Piaget yaitu bahwa anak-anak baru mencapai pemahaman tentang objek permanence pada usia di atas 6 bulan. Balillargeon dan De Vos (1991) 104 anak diamati sampai mereka berusia 18 tahun, dan diuji dengan berbagai tugas operasional formal berdasarkan tugas-tugas yang dipakai Piaget, termasuk pengujian hipotesa. Mayoritas anak-anak itu memang belum mencapai tahap operasional formal. Hal ini sesuai dengan studi-studi McGarrigle dan Donaldson serta Baillargeon dan DeVos, yang menyatakan bahwa Piaget terlalu meremehkan kemampuan anak-anak kecil dan terlalu menilai tinggi kemampuan anak-anak yang lebih tua.[17]


2.3 Teori Belajar Ausubel
Menurut Ausubel belajar haruslah bermakna, materi yang dipelajari diasimilasikan secara non arbitrer dan berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.[18] Ausubel seorang psikologist kognitif, ia mengemukakan bahwa yang perlu diperhatikan seorang guru ialah strategi mengajarnya. Sebagai contoh pelajaran berhitung bisa menjadi tidak berhasil jika murid hanya di suruh menghafal formula-formula tanpa mengetahui arti formula-formula itu. Sebaliknya bisa lebih bermakna jika murid diajari fungsi dan arti dari formula-formula tersebut.[19]
Dalam aplikasinya teori Ausubel ini menuntut siswa belajar secara deduktif (dari umum ke khusus). Secara umum, teori Ausubel ini dapat diterapkan dalam proses pembelajaran melalui tahap-tahap sebagai berikut :
· Menentukan tujuan-tujuan intruksional;
· Mengukur kesiapan peserta didik seperti minat, kemampuan, dan struktur kognitifnya melalui tes awal, interview, pertanyaan, dan lain-lain;
· Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci;
· Mengidentifikasikan prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi itu;
· Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari;
· Membuat rangkuman terhadap materi yang baru saja disampaikan dengan uraian yang singkat;
· Membelajarkan peserta didik memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan focus pada hubungan yang terjalin antara konsep yang ada;
· Mengevaluasi proses dan hasil bejar.[20]
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan” (advance organizer) didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Ada tiga manfaat dari “advance organizer” ini, yaitu :
· Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi pelajaran yang akan dipelajari;
· Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipejari siswa saat ini dan dengan apa yang akan dipelajari;
· Dapat membantu siswa untuk memahami bahan secara lebih mudah.[21]


2.4 Teori Belajar Bruner
Bruner menusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika dosen member kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, defenisi, dan sebagainya), melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan. Dengan kata lain siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran misalnya siswa tidak semata-mata menghafal defenisi kata kejujuran tersebut melainkan dengan mempelajari contoh-contohnya yang konkret tentang kejujuran dan dari contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefenisikan kata kejujuran.
Menurut Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.[22]
Teori belajar Bruner ini dalam aplikasinya sangat membebaskan siswa untuk belajar sendiri. Karena itulah teori Bruner ini dianggap sanagt cenerung bersifat discovery (belajar dengan cara menemukan). Disamping itu karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan maka desain yang berulang-ulang ini lazim disebut sebagai kurikulum spiral Bruner. Kurikulum piral menuntut guru untuk member materi pembelajaran setahap-demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana suatu materi yang sebelumnyasudah diberikan, suatu saat muncul kembali, secara terintegrasi, di dalam suatu materi baru yang lebih kempleks.[23]
Dalam teori belajar, Bruner juga berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah:
· Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru;
· Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain;
· Evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Bruner mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan . Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada empat tema pendidikan yaitu:
· Mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan;
· Kesiapan (readiness) siswa untuk belajar;
· Nilai intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi;
· Motivasi atau keinginan untuk belajar siswa, dan cura untuk memotivasinya.
Dengan demikian Bruner menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara efektif dengan kejujuran intelektual kepada anak, bahkan dalam tahap perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak kecilpun akan dapat mengatasi permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan. Berdasarkan uraian di atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner juga memandang belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan. Teori belajar psikologi kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas. Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya : Kognitif. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
· Pengetahuan (mengingat, menghafal),
· Pemahaman (menginterpretasikan),
· Aplikasi / penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
· Analisis (menjabarkan suatu konsep),
· Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
· Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).


2.5 Teori Belajar Gestalt
Teori Gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler, dan Wertheimer. Menurut teori Gestalt belajar adalah proses pengembangan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori Behavioristik yang menganggap belajar itu bersifat mekanistis, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan tingkah laku.[24] Peletak dasar teori belajar Gestalt ialah Max Wertheimer sebagai usaha untuk memperbaiki proses belajar denga rote learning dengan pengertian bukan menghapal.[25] Dalam belajar, menurut teori Gestalt, yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertiian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight adalah sebagai berikut :
a. Insight tergantungg dari kemampuan dasar;
b. Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan;
c. Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati;
d. Insight adalah hal yang harus dicari, tidak dapat jatuh dari langit;
e. Belajar dengan insight dapat diulangi;
f. Insight sekali didapat dapat digunakan untuk menghadapi situasi-situasi baru.[26]


2.5.1 Prinsip-prinsip Teori belajar Gestalt
Seperti diketahui Teori Belajar gestalt lebih menekankan kepada persepsi. Karena itu prinsip-prinsip atau hokum-hukum yanga ada pada Gestalt pada umumnya menyangkut persepsi. Adapun teori-teori gestalt antara lain :
· Belajar berdasarkan keseluruhan
· Belajar adalah suatu proses perkembangan
· Anak didik sebagai organism keseluruhan
· Terjadi transfer
· Belajar adalah reorganisasi pengalaman
· Belajar harus dengan insight
· Belejar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan.
· Belajar berlangsung secara terus-menerus.[27]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari pembahasan Teori Belajar kognitif dapat kami simpulkan sebagai berikut :
a. Pandangan Teori Belajar Kognitif adalah:
· Elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu.
· Perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri.
· Belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir yakni pengolahan informasi.
· Belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral yang bersifat jasmaniah meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa.
· Teori belajar kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Tingkah laku manusia yang tampak, tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental, seperti : motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
b. Tokoh-Tokoh Teori Belajar kognitif adalah :
· Piagiet
· Ausubel
· Bruner
· Gestalt


3.2 Saran
Hendaknya pengetahuan tentang kognitif siswa perlu dikaji secara mendalam oleh para calon guru dan para guru demi menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa pengetahuan tentang kognitif siswa, guru akan mengalami kesulitan dalam membelajarkannya di kelas, yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas. Karena faktor kognitif yang dimiliki oleh siswa merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan siswa melalui kegiatan belajar baik secara mandiri maupun secara kelompok'

DAFTAR PUSTAKA


Fauziah Nasution, Psikologi Umum, Buku Panduan untuk Fakultas Tarbiyah IAIN SU, 2011.
Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011.
Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991.
Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011.
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003.


[1] Fauziah Nasution, Psikologi Umum, Buku Panduan untuk Fakultas Tarbiyah IAIN SU, 2011, hal : 17
[2] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal : 32
[3] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, hal : 214-215
[4] Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, hal : 28-29
[5] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 33
[6] Di kutip dari : http://valmband.multiply.com/journal/item/12
[7] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 33
[8] Di kutip dari : http://valmband.multiply.com/journal/item/12
[9] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 33
[10] Di kutip dari : http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/teori-perkembangan-kognitif-piaget//
[11] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal : 26
[12] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal : 26
[13] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, hal : 216
[14] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 35
[15] Di kutip dari : http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/teori-perkembangan-kognitif-piaget//
[16] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 35
[17] Di kutip dari : http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/teori-perkembangan-kognitif-piaget//
[18] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 35
[19] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, hal : 220
[20] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 36-37
[21] Ibid, hal :37
[22] Di kutip dari : http://valmband.multiply.com/journal/item/12
[23] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 38
[24] Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, Teori Belajar dan pembelajaran, Medan :Perdana Publishing, 2011, hal: 39
[25] Abu Ahmad & Widodo Aupriyono, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 1991, hal : 215
[26] Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, hal : 19
[27] Syaiful bahri Djamarah,, Psikologi Belajar, Jakarta : Rineka Cipta, 2011, hal : 20-21

sumber:rudi