Kehidupan Masyarakat Berburu dan Mengumpulkan Makanan


Kondisi alam
Keadaan lingkungan alam masa berburu dan mengumpulkan makanan masih liar dan berbahaya. Kehidupan masyarakat purba sangat sederhana terlihat dari peralatan yang digunakan dalam menunjang kehidupan mereka, yaitu peralatan dari batu yang masih kasar, mereka sangat tergantung pada alam.

Kehidupan sosial
Masyarakat pada masa berburu dan mengumpulkan makanan lebih mengenal kehidupan kelompok. Jumlah anggora dalam tiap kelompok sekitar 10-15 orang. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Hubungan antara anggota kelompok sangat erat. Mereka bekerja secara bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan hidup serta mempertahankan kelompok kelompok dari serangan kelompok lain atau serangan binatang buas. Meskipun dalam kehidupan yang masih sederhana, mereka telah mengenal adanya pembagian tugas kerja. Kaum laki-laki biasanya bertugas untuk berburu dan kaum perempuan bertugas untuk memelihara anak serta mengumpulkan buah-buahan dari hutan. Masing-masing kelompok itu memiliki pemimpin yang sangat ditaati dan sangat dihormati oleh anggota kelompoknya.

Kehidupan budaya
Pada kehiduan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan, manusia lebih senang memilih goa-goa sebagai tempat tinggalnya. Dari sini mereka mulai tumbuh dan berkembang. Mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat pemotong, alat pengeruk tanah, dan alat lainnya. Para ahli menafsirkan bahwa pembuat alat-alat tersebut adalah jenis manusa pithecantropus dan kebudayaannya disebut tradisi Paleolitikum (batu tua). Alat-alat tersebut banyak ditemukan di Kali Baksoka, daerah Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) dan kemudian disebut sebagai kebudayaan Pacitan. Penelitian ini dilakukan oleh H.R. Van Heekeren, Besuki, dan R.P. Soejono (1953–1954). Budaya Pacitan ini dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya batu paling awal di Indonesia dan paling banyak jumlahnya.
Penemuan sejenis juga terdapat di daerah Jampang Kulon (Sukabumi) yang diteliti oleh Dr. Erdbrink, di Gombong, Perigi, dan Tambang Sawah (Bengkulu) diteliti oleh J.H. Houbalt, di Lahat, Kalianda (Sumatera Selatan), Sembiran Trunyan (Bali), Wangka, Maumere (Flores), Timor-Timur, Awang Bangkal (Kalimantan Timur), dan Cabengge (Sulawesi Selatan).
Benda-benda hasil kebudayaan zaman ini adalah sebagai berikut:

1.    Kapak perimbas
Kapak perimbas tidak memiliki tangkat dan gunakan dengan cara digenggam. Penelitian terhadap kapak ini dilakukan di daerah Punung (Kabupaten Pacitan) oleh Von Koenigswald (1935). Sedangkan para ahli lainnya juga mengadakan penelitian pada tempat-tempat lain di seluruh wilayah Indonesia, sehingga kapak perimbas tidak hanya ditemukan di Pacitan melainkan juga pada tempat-tempat seperti Sukabumi, Ciamis, Gombong, Bengkulu, Lahat (Sumatera), Bali Flores, dan Timor. Para ahli sejarah mengambil suatu kesimpulan bahwa alat-alat itu berasal dari lapisan yang sama dengan Pithecantropus Erectus dan diperkirakan juga bahwa Pithecantropus Erectus inilah pembuatnya. Tempat penemuan kapak perimbas diluar wilayah Indonesia seperti Pakistan, Myanmar (Birma), Malaysia, Cina, Thailand, Filipina dan Vietnam.
2.    Kapak penetak
Kapak penetak memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, namun lebih besar dari kapak perimbas dan cara pembuatanya masih kasar. Kapak ini berfungsi untuk membelah kayu, pohon, kayu, bambu atau disesuaikan degan kebutuhannya.
3.    Kapak genggam
Kapak genggam memiliki bentuk hampir sama dengan kapak perimbas dan kapak pendek. Tetapi bentuknya jauh lebih kecil. Kapak genggam dibuat masih sangat sederhana dan belum diasah. Kapak ini juga ditemukan di seluruh wilayah Indonesia. Cara pemakaiannya digenggam pada ujungya yang lebih kecil.
4.    Pahat genggam
Pahat genggam memiliki bentuk lebih kecil dari kapak genggam. Para ahli menafsirkan bahwa pahat genggam mempunyai fungsi untuk mengemburkan tanah. Alat ini digunakan untuk mencari ubi-ubian yang dapat dimakan
5.    Alat serpih
Alat serpih memiliki bentuk sangat sederhana dan berdasarkan bentuknya itu diduga digunakan sebagai pisau, gurdi, dan alat penusuk. Dengan alat ini manusia purba mengupas, memotong, dan juga menggali makanan. Alat serpih ini juga ditemukan oleh Von Koenigswald pada tahun 1934 di daerah Sangiran (Surakarta). Tempat-tempat penemuan lainnya di Indonesia antara lain: Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores) dan Timor. Alat-alat serpih sangat kecil dan berukuran antara 10-20 cm serta banyak ditemukan pada goa-goa tempat tinggal mereka pada waktu itu.
Pada umumnya goa-goa tidak terganggu keadaannya, maka apa yang ditinggalkan oleh manusia purba masih dapat ditemukan dalam keadaan seperti ditinggalkan oleh penghuninya, sehingga goa-goa menjadi salah satu sasaran para ahli untuk penelitian.
6.    Alat-alat dari tulang
Alat-alat dari tulang dibuat dari tulang-tulang binatang buruan. Alat-alat yang dibuat dari tulang antara lain pisau, belati, mata tombak, mata panah, dan lain-lainnya. Peralatan dari tulang itu banyak ditemukan di Ngandong.
Kehidupan ekonomi
Pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan, manusia bekerja sama dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam suatu kelompok biasanya berjumlah 10-15 orang. Dengan adanya kelompok yang masih sedikit itu, mereka dapat dengan mudah memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup dari apa yang telah tersedia di dalam hutan. Bahkan ketika persediaan yang ada di hutan habis, maka mereka pindah untuk menemukan daerah yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Kehidupan kepercayaan masyarakat
Konsep kepercayaan masyarakat pada masa ini yaitu konsep kepercayaan adaya hubungan antara orang yang sudah meninggal dan yang masih hidup sudah diyakini.

Sumber : Herydotus