Buddha (563SM - 483SM) Siddhartha Gautama
Buddha (563SM - 483SM) Siddhartha Gautama
Buddha Gautama dilahirkan dengan nama Siddhārtha Gautama (Sanskerta: Siddhattha Gotama; Pali: "keturunan Gotama yang tujuannya tercapai"), dia kemudian menjadi Buddha (secara harfiah: orang yang telah mencapai Penerangan Sempurna).
Dia juga dikenal sebagai Shakyamuni ('orang bijak dari kaum Sakya') dan sebagai Tathagata. Siddhartha Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang juga merupakan pendiri Agama Buddha Ia secara mendasar dianggap oleh pemeluk Agama Buddha sebagai Buddha Agung (Sammāsambuddha) pada masa sekarang.
Waktu kelahiran dan kematiannya tidaklah pasti: sebagian besar sejarawan dari awal abad ke 20 mem perkirakan kehidupannya antara tahun 563 SM sampai 483 SM; baru-baru ini, pada suatu simposium para ahli akan masalah ini, sebagian besar dari ilmuwan yang menjelaskan pendapat memperkirakan tanggal berkisar antara 20 tahun antara tahun 400 SM untuk waktu meninggal dunianya, sedangkan yang lain menyokong perkiraan tanggal yang lebih awal atau waktu setelahnya.
Siddhartha Gautama merupakan figur utama dalam agama Buddha, keterangan akan kehidupannya, khotbah-khotbah, dan peraturan keagamaan yang dipercayai oleh penganut agama Buddha dirangkum setelah kematiannya dan dihafalkan oleh para pengikutnya. Berbagai kumpulan perlengkapan pengajaran akan Siddhartha Gautama diberikan secara lisan, dan bentuk tulisan pertama kali dilakukan sekitar 400 tahun kemudian. Pelajar-pelajar dari negara Barat lebih condong untuk menerima biografi Buddha yang dijelaskan dalam naskah Agama Buddha sebagai catatan sejarah, tetapi belakangan ini "keseganan pelajar negara Barat meningkat dalam memberikan pernyataan yang tidak sesuai mengenai fakta historis akan kehidupan dan pengajaran Buddha
Orang tua
Ayah dari
Pangeran Siddhartha Gautama adalah Sri Baginda Raja Suddhodana dari Suku
Sakya dan ibunya adalah Ratu Mahāmāyā Dewi. Ibunda Pangeran Siddharta
Gautama meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Pangeran. Setelah
meninggal, dia terlahir di alam/surga Tusita, yaitu alam surga luhur.
Sejak meninggalnya Ratu Mahāmāyā Dewi, Pangeran Siddharta dirawat oleh
Ratu Mahā Pajāpati, bibinya yang juga menjadi isteri Raja Suddhodana.
Riwayat hidup
Kelahiran
Pangeran Siddharta dilahirkan pada
tahun 563 SM[5] di Taman Lumbini, saat Ratu Maha Maya berdiri memegang
dahan pohon sala. Pada saat ia lahir, dua arus kecil jatuh dari langit,
yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh
tubuh Siddhartha. Siddhartha lahir dalam keadaan bersih tanpa noda,
berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat
yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.
Oleh para pertapa di bawah pimpinan
Asita Kaladewala, diramalkan bahwa Pangeran kelak akan menjadi seorang
Chakrawartin (Maharaja Dunia) atau akan menjadi seorang Buddha. Hanya
pertapa Kondañña yang dengan tegas meramalkan bahwa Pangeran kelak akan
menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sri Baginda menjadi cemas,
karena apabila Pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi
tahta kerajaannya. Oleh pertanyaan Raja, para pertapa itu menjelaskan
agar Pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa. Bila tidak,
ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha. Empat macam peristiwa itu
adalah:
1. Orang tua,
2. Orang sakit,
3. Orang mati,
4. Seorang pertapa.
Masa kecil
Sejak kecil
sudah terlihat bahwa Pangeran adalah seorang anak yang cerdas dan sangat
pandai, selalu dilayani oleh pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang
masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah. Pada saat
berusia 7 tahun, Pangeran Siddharta mempunyai 3 kolam bunga teratai,
yaitu:
Kolam Bunga Teratai Berwarna Biru (Uppala)
Kolam Bunga Teratai Berwarna Merah (Paduma)
Kolam Bunga Teratai Berwarna Putih (Pundarika)
Dalam Usia 7 tahun Pangeran
Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Pangeran
Siddharta menguasai semua pelajaran dengan baik. Dalam usia 16 tahun
Pangeran Siddharta menikah dengan Puteri Yasodhara yang dipersuntingnya
setelah memenangkan berbagai sayembara. Dan saat berumur 16 tahun,
Pangeran memiliki tiga Istana, yaitu:
Istana Musim Dingin (Ramma)
Istana Musim Panas (Suramma)
Istana Musim Hujan (Subha)
Masa dewasa
Kata-kata pertapa Asita membuat Raja
Suddhodana tidak tenang siang dan malam, karena khawatir kalau putra
tunggalnya akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara
tanpa tempat tinggal. Untuk itu Baginda memilih banyak pelayan untuk
merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup
keduniawian. Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari
kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian,
sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.
Suatu hari Pangeran Siddharta
meminta izin untuk berjalan di luar istana, dimana pada kesempatan yang
berbeda dilihatnya "Empat Kondisi" yang sangat berarti, yaitu orang tua,
orang sakit, orang mati dan orang suci. Pangeran Siddhartha bersedih
dan menanyakan kepada dirinya sendiri, "Apa arti kehidupan ini, kalau
semuanya akan menderita sakit, umur tua dan kematian. Lebih-lebih mereka
yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama
tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara
ini!". Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan
memberikan semua jawaban tersebut.
Selama 10 tahun lamanya Pangeran
Siddharta hidup dalam kesenangan duniawi. Pergolakan batin Pangeran
Siddharta berjalan terus sampai berusia 29 tahun, tepat pada saat putra
tunggalnya Rahula lahir. Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan
untuk meninggalkan istananya dan dengan ditemani oleh kusirnya, Canna.
Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani
hidup sebagai pertapa.
Setelah itu Pangeran Siddhartha
meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari
ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit dan
mati. Pertapa Siddharta berguru kepada Alāra Kālāma dan kemudian kepada
Uddaka Ramāputra, tetapi tidak merasa puas karena tidak memperoleh yang
diharapkannya. Kemudian dia bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima
orang pertapa. Akhirnya dia juga meninggalkan cara yang ekstrem itu dan
bermeditasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
Masa pengembaraan
Didalam pengembaraannya, pertapa
Gautama mempelajari latihan pertapaan dari pertapa Bhagava dan kemudian
memperdalam cara bertapa dari dua pertapa lainnya, yaitu pertapa Alara
Kalama dan pertapa Udraka Ramputra. Namun setelah mempelajari cara
bertapa dari kedua gurunya tersebut, tetap belum ditemukan jawaban yang
diinginkannya. Sehingga sadarlah pertapa Gautama bahwa dengan cara
bertapa seperti itu tidak akan mencapai Pencerahan Sempurna. Kemudian
pertapa Gautama meninggalkan kedua gurunya dan pergi ke Magadha untuk
melaksanakan bertapa menyiksa diri di hutan Uruwela, di tepi Sungai
Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya. Walaupun telah melakukan
bertapa menyiksa diri selama enam tahun di Hutan Uruwela, tetap pertapa
Gautama belum juga dapat memahami hakikat dan tujuan dari hasil
pertapaan yang dilakukan tersebut.
Pada suatu hari pertapa Gautama
dalam pertapaannya mendengar seorang tua sedang menasihati anaknya di
atas perahu yang melintasi sungai Nairanjana dengan mengatakan:
“Bila senar kecapi ini dikencangkan,
suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah
senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini
dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan,
maka lenyaplah suara kecapi itu.”
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Nasehat tersebut sangat berarti bagi pertapa Gautama yang akhirnya memutuskan untuk menghentikan tapanya lalu pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang telah tinggal tulang hampir tidak sanggup untuk menopang tubuh pertapa Gautama. Seorang wanita bernama Sujata memberi pertapa Gautama semangkuk susu. Badannya dirasakannya sangat lemah dan maut hampir saja merenggut jiwanya, namun dengan kemauan yang keras membaja, pertapa Gautama melanjutkan samadhinya di bawah pohon bodhi (Asetta) di Hutan Gaya, sambil ber-prasetya, "Meskipun darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulang jatuh berserakan, tetapi aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai aku mencapai Pencerahan Sempurna."
Perasaan bimbang dan ragu melanda
diri pertapa Gautama, hampir saja Dia putus asa menghadapi godaan Mara,
setan penggoda yang dahsyat. Dengan kemauan yang keras membaja dan
dengan iman yang teguh kukuh, akhirnya godaan Mara dapat dilawan dan
ditaklukkannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan
dirinya di ufuk timur.
Pertapa Gautama telah mencapai
Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha),
tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35
tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan
ke-12, menurut kalender lunar. Versi WFB, pada bulan Mei tahun 588 SM).
Pada saat mencapai Pencerahan Sempurna, dari tubuh Siddharta memancar
enam sinar Buddha (Buddharasmi) dengan warna biru yang berarti bhakti;
kuning mengandung arti kebijaksanaan dan pengetahuan; merah yang berarti
kasih sayang dan belas kasih; putih mengandung arti suci; jingga
berarti giat; dan campuran kelima sinar tersebut.
Penyebaran ajaran Buddha
Setelah
mencapai Pencerahan Sempurna, pertapa Gautama mendapat gelar
kesempurnaan yang antara lain: Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni,
Tathagata ('Ia Yang Telah Datang', Ia Yang Telah Pergi'), Sugata ('Yang
Maha Tahu'), Bhagava ('Yang Agung') dan sebagainya. Lima pertapa yang
mendampingi Dia di hutan Uruwela merupakan murid pertama Buddha yang
mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, dimana Dia
menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas
Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahNya yang menjelaskan "Empat
Kebenaran Mulia".
Buddha Gautama berkelana menyebarkan
Dharma selama empat puluh lima tahun lamanya kepada umat manusia dengan
penuh cinta kasih dan kasih sayang, hingga akhirnya mencapai usia 80
tahun, saat ia menyadari bahwa tiga bulan lagi ia akan mencapai
Parinibbana.
Buddha dalam keadaan sakit terbaring
di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma
terakhir kepada siswa-siswa-Nya, lalu Parinibbana (versi Buddhisme
Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Versi WFB
pada bulan Mei, 543 SM).
Sifat Agung Buddha
Seorang Buddha
memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang
(karuna). Cinta Kasih dan Kasih Sayang seorang Buddha tidak terbatas
oleh waktu dan selalu abadi, karena telah ada dan memancar sejak manusia
pertama kalinya terlahir dalam lingkaran hidup roda samsara yang
disebabkan oleh ketidaktahuan atau kebodohan batinnya. Jalan untuk
mencapai Kebuddhaan ialah dengan melenyapkan ketidaktahuan atau
kebodohan batin yang dimiliki oleh manusia. Pada waktu Pangeran
Siddharta meninggalkan kehidupan duniawi, ia telah mengikrarkan Empat
Prasetya yang berdasarkan Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang tidak
terbatas, yaitu
- Berusaha menolong semua makhluk.
- Menolak semua keinginan nafsu keduniawian.
- Mempelajari, menghayati dan mengamalkan Dharma.
- Berusaha mencapai Pencerahan Sempurna.
- Buddha Gautama pertama melatih
diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk dengan
menghindarkan diri dari sepuluh tindakan yang diakibatkan oleh tubuh,
ucapan dan pikiran, yaitu
Tubuh (kaya): pembunuhan, pencurian, perbuatan jinah.
Ucapan (vak): penipuan, pembicaraan fitnah, pengucapan kasar, percakapan tiada manfaat.
Pikiran (citta): kemelekatan, niat buruk dan kepercayaan yang salah.
Cinta kasih dan kasih sayang seorang
Buddha adalah cinta kasih untuk kebahagiaan semua makhluk seperti orang
tua mencintai anak-anaknya, dan mengharapkan berkah tertinggi terlimpah
kepada mereka. Akan tetapi terhadap mereka yang menderita sangat berat
atau dalam keadaan batin gelap, Buddha akan memberikan perhatian khusus.
Dengan Kasih Sayang-Nya, Buddha menganjurkan supaya mereka berjalan di
atas jalan yang benar dan mereka akan dibimbing dalam melawan kejahatan,
hingga tercapai "Pencerahan Sempurna".
Sebagai Buddha yang abadi, Dia telah
mengenal semua orang dan dengan menggunakan berbagai cara Dia telah
berusaha untuk meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha Gautama
mengetahui sepenuhnya hakekat dunia, namun Dia tidak pernah mau
mengatakan bahwa dunia ini asli atau palsu, baik atau buruk. Ia hanya
menunjukkan tentang keadaan dunia sebagaimana adanya. Buddha Gautama
mengajarkan agar setiap orang memelihara akar kebijaksanaan sesuai
dengan watak, perbuatan dan kepercayaan masing-masing. Ia tidak saja
mengajarkan melalui ucapan, akan tetapi juga melalui perbuatan. Meskipun
bentuk fisik tubuh-Nya tidak ada akhirnya, namun dalam mengajar umat
manusia yang mendambakan hidup abadi, Dia menggunakan jalan pembebasan
dari kelahiran dan kematian untuk membangunkan perhatian mereka.
Pengabdian Buddha Gautama telah
membuat diri-Nya mampu mengatasi berbagai masalah di dalam berbagai
kesempatan yang pada hakekatnya adalah Dharma-kaya, yang merupakan
keadaan sebenarnya dari hakekat yang hakiki dari seorang Buddha. Buddha
adalah pelambang dari kesucian, yang tersuci dari semua yang suci.
Karena itu, Buddha adalah Raja Dharma yang agung. Ia dapat berkhotbah
kepada semua orang, kapanpun dikehendaki-Nya. Buddha mengkhotbahkan
Dharma, akan tetapi sering terdapat telinga orang yang bodoh karena
keserakahannya dan kebenciannya, tidak mau memperhatikan dan
mendengarkan khotbah-Nya. Bagi mereka yang mendengarkan khotbah-Nya,
yang dapat mengerti dan menghayati serta mengamalkan Sifat Agung Buddha
akan terbebas dari penderitaan hidup. Mereka tidak akan dapat tertolong
hanya karena mengandalkan kepintarannya sendiri.
Wujud dan kehadiran Buddha
Buddha tidak hanya dapat mengetahui
dengan hanya melihat wujud dan sifat-Nya semata-mata, karena wujud dan
sifat luar tersebut bukanlah Buddha yang sejati. Jalan yang benar untuk
mengetahui Buddha adalah dengan jalan membebaskan diri dari hal-hal
duniawi/menjalani hidup dengan cara bertapa. Buddha sejati tidak dapat
dilihat oleh mata manusia biasa, sehingga Sifat Agung seorang Buddha
tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Namun Buddha dapat mewujudkan
diri-Nya dalam segala bentuk dengan sifat yang serba luhur. Apabila
seseorang dapat melihat jelas wujud-Nya atau mengerti Sifat Agung
Buddha, namun tidak tertarik kepada wujud-Nya atau sifat-Nya, dialah
yang sesungguhnya yang telah mempunyai kebijaksanaan untuk melihat dan
mengetahui Buddha dengan benar.
sumber : http://civilizationix.blogspot.co.id/2015/09/buddha-563sm-483sm-siddhartha-gautama.html
0 Response to "Buddha (563SM - 483SM) Siddhartha Gautama "
Posting Komentar